Bisnis.com, JAKARTA -- Pada akhirnya Indonesia tidak bisa lagi menghindar dari jurang resesi ekonomi yang telah menghantui sejak awal masa pandemi Covid-19. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III/2020 mengalami kontraksi 3,49% setelah pada kuartal sebelumnya terkontraksi 5,32%.
Harus diakui pandemi Covid-19 telah meluluhlantahkan seluruh fundamental ekonomi nasional. Bahkan rantai pasok global juga lumpuh yang mengakibatkan aktivitas perdagangan antarnegara hampir berhenti total. Hampir semua negara kehilangan sumber pendapatannya. Padahal negara membutuhkan tambahan anggaran pendapatan yang sangat besar guna menutupi lonjakan anggaran belanja untuk membuat program pencegahan dan penanganan pandemi Covid-19, termasuk program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
Dalam kondisi ekonomi yang tidak ideal ini, tidak banyak pilihan pemerintah untuk menambah sumber pendapatannya. Sektor pajak yang selama ini menjadi tumpuan utama pemasukan pemerintah sudah bisa dipastikan akan berkurang signifikan. Pada 2021 pemerintah bersama DPR menargetkan penerimaan negara dari pajak hanya mencapai Rp1.444,5 triliun, jauh lebih rendah dari penerimaan pajak 2019 yang mencapai Rp1.546,1 triliun.
Di sisi lain, pemerintah juga tidak bisa berharap banyak dari keuntungan usaha Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Hampir semua BUMN mencatatkan penurunan pendapatan yang sangat tajam. Bahkan PT Pertamina sebagai salah satu BUMN terbesar dan penyumbang utama pendapatan negara, pada kuartal I/2020 mengalami kerugian yang sangat besar, Rp11,3 triliun.
Terbatasnya sumber pendapatan negara ditambah dengan tingginya risiko ekonomi yang dihadapi membuat pemerintah berada pada kondisi yang tidak ideal. Di tengah keterbatasan sumber pendapatan dan meningkatnya kebutuhan pembiayaan dan belanja negara, pemerintah mengambil opsi yang kurang populis, yaitu dengan menambah jumlah utang negara. Walaupun kebijakan utang ini menjadi kebijakan yang relatif mudah diimplementasikan, hal ini berdampak pada penambahan tingkat risiko yang dihadapi Indonesia.
Sebelum terkena efek pandemi Covid-19, pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) sudah memiliki catatan utang yang relatif sangat besar. Hal ini masalah serius karena memiliki efek domino yang sangat besar. Jumlah utang yang diterbitkan selama masa pemerintahan Jokowi sama dengan tiga kali atau 300% dari seluruh APBN ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pertama kali menjabat pada 2004 silam. Utang yang diterbitkan pemerintah pada 2020 sama dengan 20 kali lipat atau 2.000% dari anggaran pendidikan untuk seluruh rakyat Indonesia.
Jumlah total utang Indonesia saat ini sudah sangat mengkhawatirkan. Beban utang publik termasuk bank BUMN mencapai Rp10.732 triliun. Akibatnya nilai tukar mata uang rupiah cenderung lemah dan sulit untuk menjadi kuat. Hal ini diperparah dengan nilai ekspor yang terus menurun dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya yang berdampak pada defisit neraca perdagangan yang terus melebar. Jika kondisi ini terus dibiarkan, beberapa tahun ke depan kita harus membayar utang setiap tahun lebih dari Rp1.000 triliun.
Pemerintahan mendatang akan mewarisi struktur APBN yang sangat berat. Salah satu indikasinya adalah keseimbangan primer yang selalu bernilai negatif. Pada 2021, defisit keseimbangan primer yang ditetapkan pemerintah bersama DPR sudah mencapai Rp633,1 triliun. Defisit keseimbangan primer menunjukkan bahwa pembayaran utang dilakukan dengan melakukan utang baru. Dengan demikian pemerintahan yang akan datang mewarisi APBN yang sudah terperangkap oleh utang di mana pembayaran utang hanya bisa ditutup dengan menerbitkan utang baru.
Namun saat ini utang menjadi solusi paling realistis di tengah keterbatasan sumber pendapatan negara. Negara memerlukan tambahan anggaran pendapatan yang sangat besar untuk memulihkan dan mendorong kinerja perekonomian nasional kembali pada kondisi optimalnya. Dalam kondisi ini maka utang menjadi suatu keniscayaan dan ‘pil pahit’ yang harus ditelan untuk mengeluarkan Indonesia dari jurang resesi ekonomi. Namun kebijakan utang ini harus ditemani dengan berbagai persyaratan teknis yang terperinci yang menjamin penggunaannya benar-benar efektif, produktif, dan efisien.
Di samping itu, pemerintah perlu memilih jenis utang yang benar-benar dapat menguntungkan bagi perekonomian Indonesia secara keseluruhan, selain waktu pelunasan yang relatif panjang dan fleksibel, suku bunga pinjaman utang juga harus murah, sehingga tidak memberatkan dan membatasi ruang gerak anggaran belanja negara. Namun dalam realitasnya, tidak banyak jenis utang yang menawarkan suku bunga yang murah dan fleksibel.
Jenis-jenis utang yang selama ini tersedia merupakan utang dengan suku bunga pasar yang tentunya relatif mahal, karena mengikuti mekanisme dan hukum pasar. Obligasi yang dijual pemerintah (Government Bond) memiliki tingkat suku bunga yang relatif tinggi, karena mengikuti mekanisme dan hukum permintaan dan penawaran di pasar uang. Oleh karena itu, jika pemerintah terpaku pada obligasi klasik seperti sekarang ini maka akan semakin mempersempit ruang geraknya di masa mendatang.
Pemerintah perlu mengeluarkan paket obligasi ‘non-generik yang membuka ruang lebih luas dan lebih fleksibel. Salah satu paket obligasi yang dapat dipertimbangkan untuk diterbitkan pemerintah adalah obligasi yang dikhususkan untuk kelompok diaspora (Diaspora Bond). Kelompok diaspora ini memiliki potensi yang sangat besar. Saat ini tercatat ada lebih dari 8 juta orang Indonesia yang tinggal dan menetap di luar negeri dan sebagian besarnya berasal dari kelompok ekonomi menengah atas.
Pemerintah bisa menawarkan paket Diaspora Bond yang khusus menyasar kelompok ini. Tentunya diperlukan pendekatan khusus untuk menarik minat mereka membeli obligasi ini. Pemerintah bisa menyertai penerbitan obligasi ini dengan berbagai insentif seperti relaksasi pajak, tax holiday, dan paket-paket insentif pariwisata di destinasi-destinasi pariwisata andalan Indonesia.
*) Artikel dimuat di koran cetak Bisnis Indonesia edisi Selasa (1/12/2020)