Bisnis.com, JAKARTA — Calon emiten baru PT Bursa Efek Indonesia, PT Widodo Makmur Unggas (WMU), siap bersaing dengan perusahaan unggas lainnya yang lebih dulu melantai di pasar modal Indonesia.
Widodo Makmur Unggas (WMU) merupakan salah satu lini usaha dari Widodo Makmur Perkasa Holding. Kelompok usaha itu telah berdiri sejak 1995 dan memiliki lini bisnis peternakan dan komoditas.
Widodo Makmur Perkasa Group didirikan oleh Tumiyana. Pria yang pernah menduduki kursi Direktur Utama PT Wijaya Karya (Persero) Tbk. dan PT PP (Persero) Tbk. itu bahkan berambisi membawa holding IPO pada 2021.
Rencana penawaran umum perdana saham atau initial public offering (IPO) WMU akan segera teralisasi dalam waktu dekat. CEO Widodo Makmur Unggas Ali Mas’adi menargetkan eksekusi pada November 2020 dengan target dana Rp2 triliun.
Ali mengungkapkan lini bisnis daging ayam menjadi penopang utama kinerja keuangan perseroan. WMU menyatakan siap bersaing dengan kompetitor perusahaan di bidang perunggasan lainnya.
“Perseroan memiliki model bisnis yang berbeda nyata dengan mengingat bahwa konsumsi daging ayam di indonesia masih relatif rendah dibandingkan negara lain,” ujarnya kepada Bisnis, Senin (9/11/2020).
Dalam pemberitaan Bisnis beberapa waktu lalu, WMU disebut telah meneken nota kesepahaman dan surat perintah kerja dengan afiliasi Fuji Electric Group untuk pembangunan pabrik pakan ternak di Ngawi, Jawa Timur. Fasilitas itu akan menjadi salah satu pabrik pakan terbesar karena memiliki kapasitas 140 ton per jam.
Tumiyana saat itu menjelaskan bahwa pembangunan pabrik itu merupakan rangkaian upaya untuk mendukung bisnis WMU. Perusahaan juga memiliki rumah potong dengan kapasitas 12.000 ekor per jam atau sekitar 178.000 ekor per hari di Wonogiri, Jawa Tengah.
WMU juga sebelumnya bekerja sama dengan The Sandi Group (TSG) Global Holdings. Kolaborasi itu untuk mengembangkan peternakan unggas dengan teknologi terbarukan di Afrika.
Kehadiran WMU di lantai bursa akan berhadapan langsung dengan setidaknya empat emiten perunggasan lainnya. PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk (CPIN) menjadi perusahaan dengan kapitalisasi terbesar di sektor tersebut.
CPIN telah melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) sejak 18 Maret 1991 dengan harga pelaksanaan Rp5.100 per saham. Total kapitalisasi pasar saham emiten perunggasan itu kini mencapai Rp104,95 triliun.
Selanjutnya, ada PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk. (JPFA). Perusahaan resmi mencatatkan saham perdana di BEI pada 28 Oktober 1989 dengan harga pelaksanaan Rp7.200.
Dua emiten perunggasan lain yang kini ada di BEI yakni PT Sreeya Sewu Indonesia Tbk. (SIPD) dan PT Malindo Feedmill Tbk. (MAIN). Keduanya memiliki kapitalisasi pasar masing-masing Rp1,52 triliun dan Rp1,30 triliun.
Berdasarkan data Bloomberg, hanya kinerja saham CPIN dan SIPD yang mampu mengungguli atau outperform dari indeks JAKBIND atau sektor saham industri dasar dan kimia sepanjang periode berjalan 2020. SIPD tercatat naik 33,53 persen dan CPIN terkoreksi 1,54 persen secara year to date (ytd).
Analis Reliance Sekuritas Indonesia Anissa Septiwijaya mengungkapkan mayoritas kinerja emiten perunggasan tertekan di tengah penyebaran Covid-19. Pandemi menurutnya telah membuat daya beli masyarakat turun.
“Hal tersebut juga tercermin pada harga ayam broiler yang sempat turun signifikan,” ujarnya.
Anissa mengatakan kondisi kelebihan pasokan dalam negeri dapat menjadi tantangan bagi calon emiten baru di sektor perunggasan. Oleh karena itu, pendatang baru harus mampu mengincar pangsa pasarnya agar dapat bersaing dengan kompetitor.
“Adapun, saat ini pangsa pasar terbesar emiten pakan ternak masih dari CPIN dan JPFA,” tuturnya.