Bisnis.com, JAKARTA – Tren penguatan harga tembaga diperkirakan akan berlanjut hingga 2021 mendatang. Meski demikian, harga komoditas logam ini diproyeksikan akan menurun terlebih dahulu seiring dengan ketiadaan paket stimulus fiskal AS.
Berdasarkan data dari London Metal Exchange (LME), pada penutupan perdagangan Jumat (30/10/2020), harga tembaga terpantau pada US$6.694 per ton. Harga komoditas ini tengah menunjukkan tren penurunan sejak mendekati rekor kenaikan tertinggi pada 21 Oktober lalu di posisi US$6.953 per ton.
Sementara itu, harga tembaga di pasar Comex untuk kontrak bulan Deseber 2020 hingga Jumat (30/10/2020) juga terpantau melemah 0,29 persen ke posisi US$304,75/lb.
Laporan Commodity Markets Outlook Oktober 2020 yang dikeluarkan oleh Bank Dunia menyatakan, harga tembaga telah melonjak 22 persen pada kuartal III/2020. Kenaikan ini merupakan yang tertinggi secara kuartalan sejak pertengahan 2009 lalu, sekaligus melebihi rata-rata pergerakan harga tembaga di masa pandemi virus corona pada September 2020.
Salah satu faktor penopang reli harga tembaga adalah kuatnya tingkat permintaan dan melonjaknya angka impor dari China.
“Sentimen ini juga semakin diperkuat dengan kebijakan strategis pemerintah China yang melakukan penimbunan stok komoditas ini,” demikian kutipan laporan tersebut pada Minggu (1/11/2020).
Di sisi lain, pandemi virus corona juga memberikan imbas positif bagi harga tembaga. Munculnya pandemi global berdampak pada tersendatnya pasokan tembaga global. Pasokan dari negara produsen tembaga nomor satu di dunia, Chile, terhambat oleh melonjaknya kasus positif virus corona serta aksi mogok kerja yang dilakukan para penambang perusahaan tembaga milik pemerintah setempat.
Meski demikian, prospek pemulihan pasokan tersebut akan diimbangi oleh pemulihan permintaan dari China yang akan membuat ketersediaan tembaga cukup sulit pada tahun depan.
Berdasarkan data dari Biro Statistik China, pada September 2020, total output tembaga China meningkat 10,3 persen menjadi 909 ribu ton. Catatan ini sekaligus menyamai rekor produksi harian yang terjadi pada November 2019 lalu.
“Harga tembaga kemungkinan akan naik 4 persen pada 2021 setelah tumbuh 1 persen pada tahun 2020,” demikian kutipan laporan tersebut.
Secara terpisah, Direktur TRFX Garuda Berjangka Ibrahim mengatakan, dalam jangka pendek, harga tembaga kemungkinan akan mengalami pelemahan. Salah satu faktor utama menurutnya adalah lonjakan kasus positif virus corona di Eropa dan Amerika Serikat.
Sentimen negatif tersebut membuat pemerintah setempat kembali memberlakukan lockdown. Hal ini mengakibatkan kegiatan perekonomian akan kembali tersendat serta menghambat pasokan dan konsumsi tembaga.
Selain itu, tidak tercapainya paket stimulus Amerika Serikat sebelum pemilihan presiden 3 November mendatang juga turut memberi efek negatif bagi komoditas ini. Hal ini juga ditambah dengan ketidakpastian perundingan perpisahan Inggris dengan Uni Eropa yang belum mencapai kata sepakat.
“Harga tembaga kemungkinan masih dapat kembali turun pada level US$6.500,” katanya.
Meski demikian, Ibrahim menilai prospek harga komoditas ini masih cukup mengilap. Salah satu katalis positifnya adalah kebijakan pemerintah China untuk mengucurkan stimulus di sektor manufaktur untuk melanjutkan pembangunan proyek-proyek yang tertunda. Hal tersebut dinilai akan turut membantu kenaikan harga tembaga.
“Harga tembaga masih dapat kembali ke level US$6.800 pada akhir tahun. Sementara pada kuartal I/2021 akan mengalami koreksi hingga di kisaran US$6.500 sebelum kembali rebound di kuartal II/2021,” imbuhnya.