Bisnis.com, JAKARTA – Laju saham emiten sektor rokok dan tembakau berkapitalisasi besar terpantau sangat tertekan selama beberapa waktu terakhir.
Sepanjang tiga bulan terakhir, harga saham emiten rokok tier satu seperti PT HM Sampoerna Tbk dan PT Gudang Garam Tbk. (GGRM) sendiri sudah terjun masing-masing 22,47 persen dan 17,6 persen.
Sementara, emiten rokok tier dua seperti PT Wismilak Inti Makmur Tbk. (WIIM) dan PT Bentoel Internasional Investama Tbk. (RMBA) mencicipi keuntungan dengan kenaikan harga saham masing-masing 60,34 persen dan 44, 54 persen.
Analis RHB Sekuritas Michael Wilson Setjoadi mengatakan kata kunci dari perbedaan arah laju harga saham emiten rokok tersebut bersinggungan erat dengan wacana kenaikan harga cukai hasil tembakau (CHT) yang belum jelas.
Berdasarkan sumber Bisnis, usulan awal kenaikan tarif CHT dari Presiden adalah 13 persen-20 persen, sedangkan usulan yang diajukan oleh Kementerian Keuangan adalah 17 persen.
Menurut Michael, kenaikan tarif CHT yang ideal adalah 8 persen-9 persen pada tahun 2021 mendatang karena target APBN dari pendapatan cukai hanya tumbuh 4,5 persen dengan asumsi volume rokok turun 4 persen.
Baca Juga
Baginya, kenaikan tarif cukai diatas 10 persen kemungkinan akan direspon negatif oleh pasar namun hal ini kemudian akan tergantung pada implementasi harga jual eceran (HJE) yang akan menjadi margin support bagi produsen rokok.
“Tapi kalau ada agenda lain untuk mengurangi volume konsumsi rokok di Indonesia makanya cukai harus dinaikkan lebih tinggi, itu sudah tidak sesuai dengan acuan APBN lagi,” ungkap Michael kepada Bisnis, Senin (26/10/2020).
Michael mengatakan kenaikan harga cukai rokok yang terlalu tinggi kemungkinan akan kembali menguntungkan produsen rokok tier 2 karena mayoritas konsumen mulai melakukan trading down atau membeli produk rokok dengan harga yang lebih murah.
“Memang produsen rokok tier satu dan tier dua excise gap-nya jauh, ya. Tapi dibandingkan dengan 2019, gap tersebut naik 30 persen jadi produk produsen rokok tier satu makin mahal sementara tier dua tidak naik terlalu banyak,” sambungnya.
Jika rencana simplifikasi struktur tarif CHT oleh pemerintah belum akan terealisasi dalam waktu dekat, Michael menilai produsen rokok kelas menengah akan kembali diuntungkan sehingga akan memperlambat proyeksi pertumbuhan kinerja bagi emiten rokok besar seperti HMSP dan GGRM.
“Karena marketnya hanya sebesar itu saja 300 miliar batang rokok per tahun dan itu tidak terlalu naik dan turun setiap tahunnya. Jadi kalau pemain kecilnya diuntungkan, pemain besarnya dirugikan, dan sebaliknya,” terangnya.
Dengan demikian, ia memberikan rekomendasi netral untuk saham HMSP dengan target harga Rp1.950 dan rekomendasi beli saham GGRM dengan target harga Rp60.000 karena valuasinya yang sudah sangat murah. Ia juga berencana untuk menurunkan target harga jika ternyata kenaikan tarif CHT lebih tinggi daripada ekspektasinya.
Senada, analis Phillip Sekuritas Anugerah Zamzami Nasr juga mengatakan kenaikan tarif CHT dua tahun berturut-turut memang cukup membuat emiten rokok tertekan termasuk margin yang mengecil dan potensi penurunan pendapatan.
“Kami lebih prefer GGRM, dengan sales growth yang lebih stabil dan juga market share yang terjaga dibanding HMSP. Secara PBV juga lebih murah GGRM 1,4 kali dibanding HMSP 6,2 kali,” tuturnya kepada Bisnis, Senin (26/10/2020).
Adapun, Zamzami berpatokan pada target harga konsensus dalam 12 bulan ke depan yakni Rp57.000 untuk GGRM dan Rp1.700 untuk HMSP.