Bisnis.com, JAKARTA — Pasar obligasi diperkirakan dapat menguat lebih jauh hingga akhir tahun ini.
Berdasarkan data World Government Bonds pada Jumat (23/10/2020) tingkat imbal hasil (yield) obligasi Indonesia dengan tenor 10 tahun berada di posisi 6,703 persen, dengan spread terhadap US Treasury 583,7 basis poin (bps).
Adapun, dalam seminggu terakhir, level yield obligasi Indonesia telah menguat sebanyak 15,7 basis poin.
Catatan tersebut berarti tingkat imbal hasil obligasi negara telah kembali ke level sebelum pandemi virus corona terjadi di Indonesia yakni sekitar 6,7 persen. Sementara pada April lalu, yield surat utang Indonesia sempat menyentuh level 8,2 persen.
Ekonom PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) Fikri C. Permana mengatakan seharusnya posisi yield Indonesia dapat lebih rendah dibandingkan sebelum pandemi karena suku bunga acuan telah turun cukup jauh.
Sebagai perbandingan, suku bunga acuan Bank Indonesia (7 Days Reverse Repo Rate/7DRR) saat ini berada di level 4 persen. Pun, pada awal Maret posisi suku bunga acuan ada di level 4,75 persen.
Baca Juga
“Seakan-akan yield kita jalan di tempat, artinya tidak ada perubahan dibanding sebelum pandemi padahal di saat yang sama suku bunga acuan sudah turun jauh,” katanya ketika dihubungi Bisnis, Jumat (23/10/2020)
Menurutnya, hal tersebut disebabkan oleh risiko akibat pandemi yang dinilai lebih tinggi di negara berkembang dibandingkan negara maju. Selain itu, semakin ditekan oleh risiko nilai tukar yang lebih volatil.
Kendati demikian, Fikri menilai masih ada kemungkinan yield Indonesia akan kembali turun. Pasalnya, mayoritas yield negara lain juga masih dalam tren penurunan, contohnya yield US Treasury yang kini ada di level 0,85 persen.
“Jadinya spread US Treasury terhadap Indonesia juga semakin besar. Selain masih ada ruang, risk premium terhadap obligasi indo ternyata lebih tinggi dibanding negara-negara maju pada saat ini,” jelasnya.
Lebih lanjut dia menuturkan, Pefindo masih optimistis yield dapat menyentuh level 6,5 persen hingga akhir tahun, apalagi jika didorong oleh masuknya dana asing ke pasar domestik.
Seperti diketahui, sejak pandemi melanda investor asing berbondong-bondong keluar Indonesia dan seiring hal tersebut porsi kepemilikan investor asing terhadap SUN yang dapat diperdagangkan pun terus mengecil hingga di bawah 30 persen.
“Sehingga kalau ada likuiditas dari asing sih ya akan terjadi mekanisme pasar, semakin banyak suplai harusnya nilai semakin rendah,” katanya.
Fikri menyebut salah satu faktor utama yang dapat menarik kembali investor masuk ke Indonesia adalah redanya volatilitas rupiah. Jika nilai tukar bisa dijaga, ditambah inflasi yang tetap rendah, dia optimistis asing akan mulai agresif lagi.
"Kalau besaran dana asing yang masuk bisa menambah porsi asing, berarti mungkin ada sekitar Rp100 triliun, mungkin [yield] bisa ke 6,2 persen di akhir tahun," katanya.