Bisnis.com, JAKARTA— Komisaris PT Bursa Efek Indonesia Pandu Sjahrir mengatakan perkembangan isi pasar modal di Indonesia belum sejalan dengan perkembangan yang terjadi di Amerika Serikat sebagai salah satu kiblat bursa dunia. Kendati demikian, pengesahan omnibus law UU Cipta Kerja bisa menjadi pintu masuk bagi perubahan besar di pasar modal dalam negeri.
Dia menuturkan, sepuluh tahun lalu sepuluh perusahaan teratas di bursa Indonesia sepuluh tahun lalu didominasi telekomunikasi, konglomerasi, perbankan dan konsumer, dan ada pula energi.
Adapun, sepuluh tahun kemudian atau tahun 2019, terlihat bahwa perbankan merajai pasar modal, begitu pula telekomunikasi yang semakin besar, konsumer cenderung stagnan, dan emiten energi tersingkir dari daftar.
“Tapi kalau dilihat secara umum tidak banyak perubahan yang terjadi di Top 10 public companies di Indonesia,” kata Pandu ketika paparan dalam webinar “Indonesia e-Commerce: IPO Opportunities”, Rabu (21/10/2020)
Dia kemudian membandingkan dengan perusahaan teratas di bursa Amerika sepuluh tahun lalu didominasi oleh perusahaan sektor energi, meski ada juga perusahaan teknologi yakni Apple Inc. dan Microsoft Corp. yang masuk daftar tersebut.
Berbeda dengan bursa Indonesia, di Wall Street perubahan signifikan terjadi dalam sepuluh tahun yang mana pada 2019 lima posisi teratas diisi oleh perusahaan teknologi, sedangkan energi jauh mengecil dan emiten perbankan dan telko tak ada sama sekali.
“Top 10 di AS, five-six itu teknologi, baru konglomerasi, dan di bawahnya pun perusahaan yang bersifat teknologi. Di saat yang sama kapitalisasi pasar Amerika double dibanding sebelumnya,” tutur Pandu yang juga keponakan Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut B. Panjaitan.
Dia menilai, perubahan seperti yang dialami pasar modal AS menjadi penting karena kekayaan sektor pasar modal serta nilai-nilai ekonomisnya dapat menunjukkan pertumbuhan yang signifikan dalam periode sepuluh tahun saja.
Menurutnya, hal ini tidak terjadi di Indonesia karena hingga saat ini perusahaan-perusahaan teknologi besar di dalam negeri masih belum ada yang melantai di bursa. Padahal jika digabungkan valuasi perusahaan teknologi domestik akan mampu menyumbang nilai besar.
“Kalau sekarang dikumpulkan perusahaan telko di Indonesia digabung dan perusahaan teknologi digabung, udah seimbang [valuasinya] per hari ini. Ini observasi yang menarik tapi [perusahaan teknologi] ini baru terjadi di private market,” tutur Pandu.
Lebih lanjut, dia menyebut di Amerika, perusahaan-perusahaan “new economy” seperti perusahaan teknologi, termasuk startup, seara konsisten outperform kinerja perusahaan-perusahaan “old economy” seperti sektor konsumer dan energi.
Kinerja tersebut, jelasnya, melingkupi semua aspek mulai dari pendapatan hingga laba sehingga sangat terlihat dari pertumbuhan perusahaan tersebut. Apalagi, perusahaan “new economy" rata-rata memiliki efisiensi aset dan pricing power yang lebih baik.
“Jadi ini fenomena yang kesempatan yang bisa di-capture untuk di bursa [Indonesia,” imbuhnya.
Pandu mengatakan, pada dasarnya Indonesia pun akan mengarah ke sana, terlebih ada beberapa perusahaan teknologi dengan valuasi jumbo yang ada di negeri ini sehingga tinggal menunggu mereka masuk ke bursa.
Momentum saat ini, tambah Pandu, sangat positif untuk mendukung hal tersebut, apalagi perkembangan teknologi dan dunia digital tengah pesat didorong oleh hadirnya pandemi. Selain itu pengesahan Omnibus Law juga jadi pendorong yang positif.
“Jadi tidak boleh lengah, kita harus menjaga dan memperbaiki momentum. Omnibus law sudah menjadi game changer dan the next game changer adalah jika beberapa startup besar jadi perusahaan terbuka.,” ujarnya.