Bisnis.com, JAKARTA - PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) menyematkan rating selective default (SD) pada emiten properti PT Modernland Realty Tbk (MDLN).
Berdasarkan laporan dari keterbukaan informasi di laman Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Rabu (23/9/2020), rating SD tersebut berlaku untuk periode 17 September 2020 hingga 1 April 2021.
Penetapan peringkat utang MDLN didasarkan pada data laporan keuangan perseroan per 31 Maret 2020 dan 31 Desember 2019.
Adapun obligor dengan rating SD dinilai gagal dalam melaksanakan satu atau lebih kewajibannya baik atas kewajiban yang telah diperingkat atau tidak diperingkat, tetapi masih melakukan pembayaran tepat waktu atas kewajiban lainnya.
Selain itu, Pefindo juga menetapkan peringkat CCC untuk obligasi Berkelanjutan I Tahap I Seri B Tahun 2015 milik Modernland Realty senilai Rp150 miliar.
"Utang dengan peringkat CCC saat ini rentan untuk gagal bayar dan tergantung pada kondisi bisnis dan keuangan emiten yang lebih menguntungkan untuk dapat memenuhi komitmen keuangan jangka panjang atas efek utang," ungkap Direktur Utama Pefindo Salyadi Saputra dikutip dari keterangan tersebut.
Baca Juga
Sebelumnya, lembaga pemeringkat Fitch juga telah menurunkan peringkat utang MDLN menyusul kegagalan pembayaran kupon obligasi senilai US$8 juta yang dijadwalkan pada 31 Agustus 2020 lalu.
Beradarkan laporan dari Fitch pada beberapa waktu lalu, rating MDLN diturunkan menjadi C dari sebelumnya CC.
Fitch juga menurunkan peringkat obligasi senilai US$150 juta yang jatuh tempo pada 2021 dan US$240 juta yang jatuh tempo pada 2024, yang masing-masing diterbitkan oleh JGC Ventures Pte. Ltd. dan Modernland Overseas Pte Ltd, menjadi C. Adapun recovery rating obligasi tersebut tetap di level RR4.
“Penurunan ini dilakukan menyusul kegagalan perusahaan membayar kupon obligasi 2021 yang jatuh tempo pada 31 Agustus 2020 dan saat ini tengah masuk grace period,” demikian kutipan laporan tersebut.
Dalam laporan tersebut, Fitch memperkirakan MDLN tidak memiliki arus kas yang memadai untuk membayarkan kupon kepada para pemegang obligasi. Hal tersebut membuat emiten ini harus kembali bergantung pada pendanaan eksternal untuk melunasi kewajibannya.