Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Jelang Pertemuan OPEC+, Harga Minyak Melaju di Zona Hijau

Harga minyak sempat kembali jatuh ke bawah level US$40 per barel sejak 3 September 2020 didorong oleh terus meningkatnya jumlah kasus positif Covid-19 di beberapa negara sehingga keraguan pasar menguat terkait pemulihan ekonomi yang berkelanjutan.
Rangkaian kereta pengangkut minyak mentah, bahan bakar, dan gas cair dalam posisi miring di stasiun kereta Yanichkino, menuju ke kilang Gazprom Neft PJSC Moscow di Moskow, Rusia/Bloomberg-Andrei Rudakov
Rangkaian kereta pengangkut minyak mentah, bahan bakar, dan gas cair dalam posisi miring di stasiun kereta Yanichkino, menuju ke kilang Gazprom Neft PJSC Moscow di Moskow, Rusia/Bloomberg-Andrei Rudakov

Bisnis.com, JAKARTA – Harga minyak berhasil melenggang di zona hijau menjelang pertemuan OPEC+ pada pekan ini untuk membahas kesepakatan kebijakan pemangkasan produksi seiring dengan pemulihan permintaan yang belum merata di seluruh wilayah.

Berdasarkan data Bloomberg, pada perdagangan Senin (14/9/2020) hingga pukul 14.33 WIB, harga minyak jenis WTI di bursa Nymex untuk kontrak Oktober 2020 berada di level US$37,53 per barel, naik 0,54 persen atau 0,2 poin,

Sementara itu, harga minyak jenis Brent untuk kontrak November 2020 di bursa ICE berada di level US$39,95 per barel, menguat 0,28 persen atau naik 0,11 poin.

Kepala Strategi Pasar Global Axicorp Stephen Innes mengatakan bahwa saat ini tidak ada yang sepenuhnya yakin dengan prospek pemulihan ekonomi sehingga membuat OPEC+ berada di posisi yang cukup sulit untuk menentukan strategi baru terkait produksinya.

Selain itu, pada pertemuan ini diprediksi akan berfokus terhadap kepatuhan anggota terkait pemotongan produksi OPEC+, setelah terdapat kabar baru beberapa eksportir mengingkari kesepakatan itu.

Irak telah memangkas harga untuk semua produk minyak mentahnya ke Asia dan AS untuk pengiriman Oktober, menyusul pemotongan harga serupa yang dilakukan oleh Arab Saudi dan produsen Teluk lainnya karena permintaan melambat.

Untuk diketahui, setelah menerapkan pemangkasan produksi bersejarah hingga 10 juta barel per hari pada Mei lalu, OPEC+ sepakat untuk menaikkan produksinya mulai Agustus 2020.

Hal itu sejalan dengan harga yang mulai membaik, prospek pemulihan permintaan seiring dengan banyak negara yang sudah mulai membuka ekonominya kembali, dan untuk memenuhi permintaan domestik setiap negara.

Namun, harga minyak kembali jatuh ke bawah level US$40 per barel sejak 3 September 2020 didorong oleh terus meningkatnya jumlah kasus positif Covid-19 di beberapa negara sehingga keraguan pasar menguat terkait pemulihan ekonomi yang berkelanjutan.

“Optimisme pasar saat ini sangat bergantung terhadap perkembangan vaksin Covid-19,” ujar Innes seperti dikutip dari Bloomberg, Senin (14/9/2020).

Adapun, University of Oxford dan AstraZeneca Plc belum lama ini mengumumkan bahwa pihaknya telah memulai kembali uji coba obat eksperimental di Inggris setelah dihentikan karena kekhawatiran tentang peserta yang jatuh sakit.

Di sisi lain, Tim Riset Monex Investindo menilai bahwa harga minyak berpotensi untuk bergerak menguat seiring dengan adanya ancaman badai Sally di Teluk Meksiko, setelah beberapa pekan lalu wilayah itu diterpa badai Laura.

Ancaman itu memaksa aktivitas rig di wilayah penghasil minyak mentah dan gas alam Amerika Serikat itu ditutup untuk kedua kalinya dalam waktu kurang dari sebulan dan mengancam pasokan minyak.

Badai Sally diperkirakan akan mencapai dekat New Orleans pada Selasa.

“Harga minyak WTI menguji level resisten di US$37,80 - US$38,40 per barel. Namun, jika pasar mencemaskan outlook melambatnya permintaan, harga minyak berpotensi bergerak turun untuk menguji support di US$37 - US$36,40 per barel,” tulis Monex Investindo Futures dalam publikasi hariannya, dikutip Senin (14/9/2020).

Sementara itu, Kepala Penelitian Komoditas Global Citigroup Ed Morse melihat prospek bullish terhadap harga minyak jenis Brent dan memprediksi harga akan kembali ke level US$60 per barel pada akhir 2021.

“Kami bullish [terhadap harga minyak]. Dalam kasus dasar kami, harga naik karena keseimbangan pasar karena persediaan akan turun dalam jumlah yang sangat besar,” ujar Morse seperti dikutip dari Bloomberg.

Namun, dia memperkirakan permintaan global baru akan benar-benar pulih seperti sebelum pandemi Covid-19 melanda di seluruh dunia pada akhir 2021.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper