Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pascareli Terpanjang Sejak 40 Tahun, Harga Kedelai Terkoreksi

Harga melemah setelah diperdagangkan menguat selama 12 sesi perdagangan berturut-turut, menjadi reli terpanjang bagi kontrak teraktif kedelai sejak 1980. 
Ilustrasi/Bisnis.com
Ilustrasi/Bisnis.com

Bisnis.com, JAKARTA – Harga kedelai berbalik melemah akibat aksi profit taking setelah harga mengalami reli terpanjangnya dalam 40 tahun terakhir.

Berdasarkan data Bloomberg, pada perdagangan Kamis (10/9/2020) hingga pukul 15.43 WIB harga kedelai berjangka untuk kontrak November 2020 di bursa Chicago melemah 0,33 persen ke level US$9,755 per bushel.

Harga melemah setelah diperdagangkan menguat selama 12 sesi perdagangan berturut-turut, menjadi reli terpanjang bagi kontrak teraktif kedelai sejak 1980. 

Pada penutupan perdagangan sebelumnya, Rabu (9/9/2020), kedelai parkir di level US$9,7875 per bushel naik 0,6 persen di saat komoditas agri lainnya seperti jagung dan gandum terkoreksi.

Level harga kedelai itu menjadi level tertinggi sejak dua tahun terakhir. Sepanjang tahun berjalan 2020, harga kedelai berjangka telah bergerak menguat 2 persen. Padahal, pada Maret 2020 harga sempat anjlok hingga ke level US$8,2175 per bushel di saat pasar bergejolak akibat penyebaran Covid-19 di seluruh dunia.

Kendati terkoreksi, beberapa analis percaya bahwa pelemahan harga itu hanya akan berlangsung sementara dan terbatas karena sentimen dibayangi fundamental yang sangat positif.

Director of Agricultural Strategist Commonwealth Bank of Australia Tobin Gorey mengatakan bahwa permintaan kedelai dari China yang meningkat merupakan katalis sangat positif bagi harga berjangka.

“Kenaikan data penjualan kedelai AS ke China seperti yang disampaikan USDA [US Department of Agriculture] akan sulit untuk dihiraukan menjadi sebuah sentimen,” ujar Gorey seperti dikutip dari keterangannya, Kamis (10/9/2020).

Pembelian China

Berdasarkan data USDA, penjualan kedelai AS ke China telah naik signifikan selama empat hari perdagangan terakhir menjadi sebesar 238.000 ton dan sebesar 132.000 ton ke daerah lainnya.

USDA menyebutkan bahwa kenaikan penjualan komoditas agrikultur andalan AS itu merupakan laju tercepat dalam tujuh bulan terakhir. Para analis menyebutkan China meningkatkan pembelian dalam beberapa bulan terakhir karena untuk memenuhi permintaan dari industri babi yang pulih lebih cepat daripada perkiraan.

Untuk diketahui, pada tahun lalu China mengalami penyebaran flu babi yang membuat lebih dari setengah kawanan babi di negara itu mati. Hal itu membuat permintaan kedelai sebagai pangan babi dari China, yang juga merupakan konsumen kedelai utama di dunia melemah.

Selain itu, peningkatan penjualan kedelai AS oleh China juga merupakan bagian dari kesepakatan dagang fase satu oleh kedua negara.

Sebelumnya, Pemerintah China menyebutkan akan membeli kedelai asal AS dalam jumlah rekor tahun ini karena harga yang lebih rendah membantu Negeri Panda itu meningkatkan pembelian yang dijanjikan berdasarkan kesepakatan perdagangan fase satu antara AS dan China.

China pun telah meningkatkan pembelian komoditas pertanian AS sejak akhir April, dengan penjualan kedelai untuk pengiriman musim depan saat ini berada di level tertinggi sejak 2013.

Kementerian Pertanian China mengatakan bahwa pihaknya mengharapkan impor kedelai naik pada paruh kedua tahun ini, termasuk dari AS sesuai dengan kesepakatan dagang fase satu kedua negara.

Adapun, China diproyeksi membeli kedelai AS hingga 40 juta ton sepanjang 2020. Jumlah itu akan menjadi sekitar 25 persen lebih besar daripada penjualan kedelai AS oleh China pada 2017 dan sekitar 10 persen lebih banyak dari rekor pembelian pada 2016 saat hubungan dagang kedua negara masih baik.

Namun, Senior Analyst StoneX Group di Shanghai Darin Friedrichs mengatakan bahwa tampaknya pembelian kedelai AS oleh China hingga 40 juta ton akan cukup sulit untuk terlaksana pada tahun ini.

“Pengiriman selama musim gugur biasanya maksimal hanya mencapai sekitar 7,5 hingga 8 juta ton per bulan dari AS ke China. Saya pikir proyeksi pembelian sebesar 35 juta ton mungkin lebih masuk akal dibandingkan dengan proyeksi 40 juta ton,” ujar Friedrich seperti dikutip dari Bloomberg, Kamis (10/9/2020).

Selain itu, pembeli dari perusahaan swasta China tampaknya juga tidak akan memiliki banyak insentif untuk melakukan pembelian kedelai AS karena potensi panen Brasil yang sangat besar tahun depan.

Tekanan Pasokan

Di sisi lain, Senior Editor Farm Futures Ben Potter mengatakan bahwa harga kedelai didukung oleh kekhawatiran pasar atas embun beku di beberapa ladang Midwestern bagian atas, di Amerika Serikat pada awal pekan ini.

Gangguan itu dapat meningkatkan kekhawatiran pasar bahwa cadangan dan pasokan yang dalam tekanan mungkin tidak dapat mencukupi permintaan dari China yang mulai menunjukkan peningkatan.

“Katalis positif bagi harga terbaru mungkin dari petani kedelai telah berjuang melawan sekumpulan tantangan musim untuk panen, mulai dari gulma hingga kondisi yang terlalu kering hingga bahkan beku pada awal pekan ini,” tulis Potter seperti dikutip dari Bloomberg, Kamis (10/9/2020).

Apalagi, dampak Badai Laura pada awal September ini juga telah merusak beberapa tanaman sehingga tekanan pasokan pun semakin besar. Kondisi tanaman yang semakin memburuk membuat analis memproyeksikan USDA akan memangkas perkiraan output kedelai AS sebesar 3 persen.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper