Bisnis.com, JAKARTA - Harga batu bara diperkirakan baru akan memanas pada kuartal IV/2020 seiring dengan peningkatan permintaan menjelang musim dingin.
Berdasarkan data Bloomberg, pada perdagangan Senin (3/8/2020) harga batu bara acuan newcastle untuk kontrak teraktif, September 2020, berada di level US$54,3 per ton, melemah 0,46 persen daripada perdagangan sebelumnya.
Harga batu bara sudah mulai perlahan pulih dari level terendahnya pada akhir April lalu yang sempat anjlok ke posisi US$51,6 per ton. Harga batu bara telah naik 4,42 persen dari level terendahnya, tetapi masih terkoreksi 24,06 persen sepanjang tahun berjalan 2020.
Direktur TRFX Garuda Berjangka Ibrahim mengatakan bahwa harga batu bara berpotensi besar untuk rebound terbatas ke posisi lebih tinggi pada kuartal IV/2020.
Hal itu akan didukung dengan prospek musim dingin sehingga kebutuhan komoditas emas hitam itu untuk penghangat akan meningkat dan membantu harga untuk pulih.
Belum lagi, prospek pemulihan ekonomi China sebagai konsumen batu bara terbesar dunia yang lebih cepat daripada ekspektasi. Kendati banyak negara menunjukkan sinyal resesi, China berhasil terus merilis data-data ekonomi yang lebih baik daripada perkiraan ekonom.
Baca Juga
“Harga batu bara akan terkerek sentimen itu, kemungkinan akan sentuh US$70 per ton karena prospek musim dingin yang cukup ekstrim jadi negara-negara akan mulai menyetok cadangannya saat ini,” ujar Ibrahim saat dihubungi Bisnis.
Kendati demikian, Ibrahim menjelaskan bahwa walaupun akan menguat, harga batu bara akan sulit untuk kembali ke level tinggi seperti pada 2018 dan hanya akan mentok di level US$70 per ton pada tahun ini.
Pasalnya, harga batu bara juga masih dihantui oleh sentimen ketidakpastian hubungan antara AS dan China yang kembali memanas dalam beberapa bulan terakhir.
Pasar khawatir ketegangan AS dan China saat ini akan mempengaruhi hubungan ekonominya, dan semakin merusak harga-harga komoditas, termasuk batu bara.
Global Energy Monitor dalam publikasi riset terbarunya mengatakan bahwa sebagian besar generator batu bara di AS dan Eropa ditutup pada semester I/2020, sedangkan banyak pembangkit listrik baru di Asia meleset dari target dan bahkan gagal melakukan commissioning.
Direktur Program Batu Bara Global Energy Monitor Christine Shearer mengatakan bahwa penurunan penyerapan batu bara untuk bahan pembakar pembangkit listrik itu disebabkan oleh goncangan ekonomi di seluruh dunia seiring dengan pandemi Covid-19 yang masih berlangsung.
Hal itu juga didukung oleh komitmen banyan negara di Uni Eropa untuk mengurangi ketergantungannya terhadap batu bara setelah menaikkan harga karbon dan pengetatan peraturan polusi.
“Saya pikir ke depan akan lebih melambat dan ini juga akan digunakan sebagai momentum bagi banyak negara untuk memikirkan kembali rencana batu bara mereka, mungkin energi bersih sekarang merupakan pilihan termurah di banyak tempat,” ujar Shearer seperti dikutip dari Bloomberg.