Bisnis.com, JAKARTA - Konsumsi batu bara dunia tampak semakin dalam tekanan pada tahun ini. Penyerapan batu bara sebagai bahan pembakar pembangkit listrik sepanjang semester I/2020 di seluruh dunia tercatat turun untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun terakhir.
Hal itu pun diperparah dengan semakin banyak pembangkit listrik yang ditutup di dunia dibandingkan dengan pengembangan proyek baru.
Global Energy Monitor dalam publikasi riset terbarunya mengatakan bahwa sebagian besar generator batu bara di AS dan Eropa ditutup pada semester I/2020, sedangkan banyak pembangkit listrik baru di Asia meleset dari target dan bahkan gagal melakukan commissioning.
Berdasarkan data lembaga riset dan advokasi asal AS yang melacak pengembangan bahan bakar fosil itu, hanya sebanyak 18,3 gigawatt (GW) pembangkit listrik berbahan bakar batu bara berhasil masuk fase commissioning sedangkan sebesar 21,2 GW pembangkit listrik ditutup.
Di China, total kapasitas pembangkit listrik yang berhasil masuk fase commissioning pada paruh pertama tahun ini anjlok 40 persen menjadi hanya sebesar 11,4 GW dibandingkan dengan semester I/2019 sebesar 19,4 GW.
Selain itu di India, konsumen batu bara utama dunia lainnya, mencatat total kapasitas pembangkit listrik yang masuk tahap commissioning hanya sebesar 0,9 GW, sedangkan total kapasitas pembangkit listrik sebesar 1,2 GW ditutup, dan lebih dari 27 GW proposal pembangkit listrik baru dibatalkan.
Baca Juga
Secara kumulatif, sekitar 72 GW dari proyek pembangkit listrik batu bara baru yang direncanakan terpaksa dibatalkan pada paruh pertama tahun ini, sebagian besar di India dan China. Kendati demikian, sebesar 190 GW total kapasitas proyek pembangkit listrik di seluruh dunia tetap dalam konstruksi.
Sementara itu, sebesar 8,3GW dari penutupan berada di Uni Eropa dan 5,4 GW berada di AS. Adapun, Inggris menutup sepertiga dari kapasitas batu baranya selama dua bulan pada paruh pertama tahun ini.
Direktur Program Batu Bara Global Energy Monitor Christine Shearer mengatakan bahwa penurunan penyerapan batu bara untuk bahan pembakar pembangkit listrik itu disebabkan oleh goncangan ekonomi di seluruh dunia seiring dengan pandemi Covid-19 yang masih berlangsung.
Hal itu juga didukung oleh komitmen banyan negara di Uni Eropa untuk mengurangi ketergantungannya terhadap batu bara setelah menaikkan harga karbon dan pengetatan peraturan polusi.
“Saya pikir ke depan akan lebih melambat dan ini juga akan digunakan sebagai momentum bagi banyak negara untuk memikirkan kembali rencana batu bara mereka, mungkin energi bersih sekarang merupakan pilihan termurah di banyak tempat,” ujar Shearer seperti dikutip dari Bloomberg, Selasa (4/8/2020).
Sementara itu, Tim Buckley, Professor Institute for Energy Economics and Financial Analysis, mengatakan bahwa Covid-19 memiliki dampak signifikan tidak hanya pada konstruksi pabrik, tetapi pada perkiraan permintaan energi di masa depan.
Ini akan membuat pembangunan tenaga batu bara di negara-negara seperti India semakin sulit dilakukan, dan kemungkinan akan semakin mempercepat peralihan dari bahan bakar fosil itu.
"Tidak ada yang mengatakan itu akan terjadi dalam lima tahun ke depan, tetapi lintasannya jelas, ke depan batu bara akan sulit bersaing dengan tenaga surya dan angin,” ujar Buckley.
ia pun menjelaskan, pandemi Covid-19 pun telah menurunkan harga batu bara global yang tentu juga akan semakin menyulitkan pelaku industri batu bara.
Berdasarkan data Bloomberg, pada perdagangan Senin (3/8/2020) harga batu bara acuan newcastle untuk kontrak teraktif, September 2020, berada di level US$54,3 per ton, melemah 0,46 persen daripada perdagangan sebelumnya.