Bisnis.com, JAKARTA – Lembaga pemeringkat internasional, Moody’s Investor Service, memperkirakan kualitas utang korporasi Indonesia akan semakin memburuk seiring dengan penurunan tajam laju ekonomi karena tekanan daya konsumsi dan harga komoditas yang lebih rendah.
Analis Moody’s Investor Service Stephanie Cheong mengatakan bahwa pihaknya memproyeksi metrik keuangan korporasi Indonesia akan melemah untuk setahun penuh 2020 dan baru akan pulih secara bertahap pada 2021, walaupun pendapatan masih akan di posisi lebih rendah dibanding tahun-tahun sebelumnya.
“Risiko financing meningkat karena sekitar 42 persen dari global bond berperingkat tinggi akan jatuh tempo pada Desember 2020 dan risiko terbesar akan dihadapi oleh perusahaan di sektor properti dan pertambangan,” ujar Cheong seperti dikutip dari keterangan resminya, Kamis (30/7/2020).
Adapun, pendapatan korporasi Indonesia yang masuk dalam cakupan Moody's diperkirakan turun sekitar 20 persen secara year on year (yoy) pada 2020 dan tetap akan berada di 10 persen di bawah realisasi 2019 pada tahun berikutnya.
Cheong menjelaskan bahwa sektor yang paling akan terpukul adalah properti, pertambangan, minyak dan gas, serta tekstil.
Lebih rinci, Moody's memproyeksi pendapatan dari perusahaan sektor minyak dan gas, sektor pertambangan, dan jasa pertambangan akan turun sekitar 30 persen hingga 35 persen pada 2020 seiring dengan kontrak permintaan yang lebih lemah.
Baca Juga
Ketiga sektor itu baru akan pulih bertahap pada 2021, walaupun masih akan di kisaran 10 persen hingga 25 persen lebih rendah dibandingkan dengan realisasi 2019.
Sementara itu, perusahaan di sektor-sektor yang bergantung pada konsumen, seperti properti dan tekstil akan mengalami penurunan pendapatan masing-masing sekitar 40 persen dan 20 persen karena sentimen tingkat konsumsi yang lemah.
Penurunan ini paling tajam, yaitu di sekitar 50 persen kemungkinan akan dialami oleh perusahaan properti dengan operasi ritel dan perhotelan, seperti PT Pakuwon Jati Tbk (PWON) dan Lippo Malls Indonesia Retail Trust.
Kemudian, kendati harga minyak sawit yang lebih tinggi yang dapat mendukung pendapatan produsen, beberapa perusahaan produsen sawit masih akan mengalami tekanan pertumbuhan pendapatan.
Hambatan operasional dan tantangan tata kelola masih akan menekan kualitas kredit PT Sawit Sumbermas Sarana Tbk. (SSMS), sedangkan melambatnya konsumsi produk minyak sawit dalam negeri dapat melemahkan top line PT Tunas Baru Lampung Tbk. (TBLA)
Alhasil, likuiditas telah melemah dengan indikator stres likuiditas Indonesia (LSI) akan naik ke level tertinggi 53,6 persen pada Juni 2020.