Bisnis.com, JAKARTA – Pembukaan sumur untuk memproduksi minyak serpih di Amerika Serikat diprediksi dapat semakin menekan harga minyak mentah dunia.
Kepala Riset dan Edukasi Monex Investindo Futures Ariston Tjendra mengatakan aksi tersebut dapat menjadi sentimen negatif bagi pergerakan harga minyak mentah. Pasalnya produksi minyak serpih bakal membanjiri pasar yang kini sedang seret permintaan.
“Setiap penambahan produksi tentunya akan menekan harga minyak karena saat ini permintaan belum begitu membaik terkait covid-19,” katanya kepada Bisnis pada Kamis (25/6/2020).
Menurutnya, volatilitas harga minyak mentah sudah tinggi terlepas dari produksi minyak serpih atau shale oil. Pasalnya pasar tengah khawatir dengan gelombang kedua kasus covid-19. Skenario terburuk, lanjutnya, adalah ekonomi dapat kembali ditutup sehingga menekan harga minyak mentah.
Oleh sebab itu, dia memperkirakan dalam jangka pendek harga minyak akan tertekan. “Harga minyak masih terlihat dalam tren naik untuk jangka menengah, tapi jangka pendek masih berpotensi tertekan,” imbuhnya.
Adapun yang menjadi katalis positif saat ini adalah pembukaan ekonomi di berbagai negara. Dia berharap hal itu bisa meningkatkan permintaan minyak sehingga harga dapat terkerek. Di sisi lain, negara OPEC+ juga sepakat untuk mengurangi produksi secara massif.
Baca Juga
Ariston memperkirakan harga minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) berada di level US$30 per barel untuk support. Lalu US$45 per barel untuk batas resistance.
Berdasarkan data Bloomberg pada perdagangan Kamis (25/6/2020) pukul 16.30 WIB harga minyak jenis WTI tengah terkoreksi 0,24 persen ke level US$37,92 per barel. Minyak jenis WTI dibuka pada level US$38,05 per barel dan sempat menyentuh level tertinggi US$38,46 per barel.
Adapun minyak jenis Brent justru menguat 0,12 persen ke level US$40,36 per barel. Minyak Brent sempat menyentuh level terendah hari ini US$39,47 per barel namun kembali rebound hingga level tertinggi US$40,70 per barel.