Bisnis.com, JAKARTA – Rencana pembangunan pabrik tekstil dan garmen baru oleh PT Trisula International Tbk. (TRIS) tertunda karena pandemi virus corona yang menghambat jalannya survei lokasi.
Hal tersebut diungkapkan oleh Direktur Marketing TRIS Kartono Budiman dalam public expose perusahaan pada Senin (15/6/2020 di Jakarta.
Kartono mengatakan, hingga kuartal I/2020, pihaknya belum menetapkan lokasi pembangunan pabrik baru yang rencananya akan menjadi rumah produksi garmen dan juga tekstil tersebutnya. Pasalnya, survei lokasi yang seharusnya sudah rampung terhenti karena pandemi virus corona.
Selain itu, perusahaan juga harus mempertimbangan beragam hal untuk pabrik tersebut. Menurut Kartono, ada faktor-faktor berbeda yang harus diperhatikan saat hendak membangun pabrik garemn dan tekstil pada satu lokasi.
Pihak perusahaan, lanjutnya, mempertimbangkan faktor lahan, akses logistik, serta sumber tenaga kerja dengan harga terjangkau dalam pembangunan pabrik garmen. Sedangkan, untuk pabrik tekstil, mereka harus mempertimbangkan dampak lingkungan yang mungkin akan ditimbulkan dari pembangunan pabrik tekstil.
“Kita tidak bisa survei juga karena banyak lokasi yang tertutup karena ada Pembatasan Sosial Berskla Besar (PSBB). Kami harap ini (survei lokasi) dapat kembali berjalan pada Juli mendatang,” katanya.
Guna mengantisipasi molornya pembangunan pabrik tersebut, perusahaan tengah mempertimbangkan untuk memperluas pabrik garmennya terlebih dahulu. Hal ini agar proses peningkatan produksi dapat segera dilaksanakan.
Sementara itu, Dirut TRIS Santoso Widjodjo mengatakan, hingga kini lokasi pabrik baru tersebut tengah dipertimbangkan berada di wilayah Jawa Tengah atau Jawa Barat. Perhitungan investasi awal untuk pembangunan pabrik tekstil dan garmen tersebut berada di kisaran Rp50 miliar hingga Rp100 miliar.
Dikutip dari laporan keuangan per 31 Desember 2019, Trisula International mencatatkan penjualan bersih sebesar Rp1,48 triliun, naik 5,87 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Kendati demikian, laba bersih tahun berjalan yang diatribusikan kepada pemilik entitas induk terjun 86,56 persen dari posisi Rp5,92 triliun menjadi Rp795,75 juta. Sejalan dengan kenaikan penjualan bersih, beban pokok penjualan juga mengalami kenaikan sebesar 7 persen sebesar Rp1,13 triliun pada tahun 2019.