Bisnis.com, JAKARTA - Harga batu bara berhasil mencetak reli dan sudah bergerak menguat selama tujuh perdagangan berturut-turut. Hal ini didukung oleh sentimen optimisme pasar terhadap pulihnya pasar China sebagai produsen dan konsumen terbesar di dunia.
Berdasarkan data Bloomberg, harga batu bara Newcastle untuk kontrak Juni 2020 parkir di level US$54,15 per ton, menguat 1,5 persen pada penutupan perdagangan Selasa (12/5/2020).
Adapun, pada akhir April 2020 harga batu bara sempat menyentuh level US$50,9 per ton yang merupakan level terendahnya sejak Mei 2016 atau hampir empat tahun lalu.
Padahal, pada awal perdagangan harga batu bara menunjukkan tren bullish dan sempat menyentuh level US$76,9 per ton. Sepanjang tahun berjalan 2020, harga tercatat melemah 22,81 persen.
Analis Capital Futures Wahyu Laksono mengatakan bahwa secara teknikal reli harga batu bara saat ini terbilang wajar. Terlebih, reli terjadi setelah harga menyentuh level terendahnya pada akhir April 2020.
Penguatan ini pun didukung oleh sentimen pelonggaran kebijakan lockdown di beberapa negara, termasuk China. Pelonggaran lockdown menumbuhkan optimisme pasar bahwa prospek perlambatan ekonomi dunia akibat Covid-19 dapat dibatasi.
Baca Juga
Harga minyak yang juga berhasil berbalik menguat memberikan sentimen positif tambahan untuk batu bara, rekan komoditas energinya.
“Kondisi sekarang sedang membaik didukung harapan dibukanya lockdown beberapa negara dan sentimen bisa membaik, minyak juga sudah rebound. Jadi batu bara akan lebih mudah bertahan dan potensial menguat,” ujar Wahyu saat dihubungi Bisnis, Rabu (13/5/2020).
Wahyu menilai selama pandemi Covid-19, batu bara tampak mampu bertahan dengan lebih baik dibandingkan dengan harga minyak dan crude palm oil (CPO). Bahkan, kinerja batu bara saat ini berhasil membukukan pergerakan yang lebih baik dibandingkan dengan kondisi pasar pada 2015-2016 yang juga menjadi masa krisis bagi harga batu bara.
Dia menilai dengan sentimen prospek pelemahan permintaan yang ada, seharusnya harga batu bara berpotensi anjlok ke level US$40 per ton.
Berkurangnya pasokan, akibat beberapa negara tambang seperti Afrika Selatan yang masih memberhentikan produksinya karena kebijakan lockdown untuk memutus mata rantai penyebaran menjadi salah satu alasan emas hitam ini dapat menahan anjloknya harga.
Wahyu memproyeksi harga batu bara untuk jangka panjang masih bergerak di kisaran US$40-US$120 per ton, sedangkan level konsolidasi tahunan berada di kisaran US$50-US$60 per ton. Untuk sepanjang pekan ini, harga berpotensi berada di kisaran US$52-US$57 per ton.
Perkembangan Harga Batu Bara | ||
---|---|---|
Periode | Harga (US$ per ton) | Perubahan Harian |
05/05/20 | 52,05 | 1,17% |
06/05/20 | 52,75 | 1,34% |
07/05/20 | 52,9 | 0,28% |
08/05/20 | 52,9 | 0% |
11/05/20 | 53,35 | 0,85% |
12/05/20 | 54,15 | 1,50% |
Sumber : Bloomberg, diolah
INDUSTRI CHINA PULIH
Sementara itu, mengutip Bloomberg penggunaan batu bara oleh pembangkit listrik pinggir pantai di lima utilitas utama China— yang juga menjadi indikator permintaan Negara Panda itu— naik untuk hari ke delapan berturut-turut menjadi 577.100 ton, atau naik lebih dari 30 persen secara tahunan dan level tertinggi sejak 12 Januari.
Peningkatan itu didukung banyak pabrik di China yang berbondong-bondong menebus pesanan produksi yang sempat terhenti sehingga mendorong permintaan listrik dan memicu lonjakan harga batu bara.
Selain itu, Analis Mirae Asset Sekuritas Andy Wibowo Gunawan dalam publikasi risetnya mengatakan bahwa impor batu bara China periode April berhasil dirilis lebih baik, yaitu mencapai 30,9 juta ton naik 11,2 persen dari bulan lalu dan naik 22,3 persen secara tahunan.
“Dengan demikian, ini dapat memberikan sentimen positif kepada para pemain batu bara dalam negeri karena Indonesia adalah salah satu eksportir batu bara terbesar ke China,” ujar Andy seperti dikutip dari risetnya.
Di sisi lain, sejalan dengan pergerakan harga komoditasnya, saham-saham emiten tambang batu bara juga mencatatkan pelemahan sepanjang tahun berjalan. Bahkan terdapat emiten yang telah terkoreksi hingga 65,03 persen secara year to date, yaitu saham PT Alfa Energi Investama Tbk. (FIRE).
Hanya saham anak usaha Grup Sinarmas, PT Dian Swastatika Sentosa Tbk. (DSSA), yang berhasil mencatatkan kenaikan sebesar 53,15 persen secara year to date.
Adapun, Analis PT Samuel Sekuritas Indonesia Dessy Lapagu menyatakan bahwa secara sektoral, saham-saham emiten pertambangan batu bara berada di posisi neutral karena tren pelemahan yang masih akan berlanjut hingga akhir tahun.
“Namun, dengan disahkannya UU Minerba akan menjadi sentimen positif untuk saham emiten batu bara dalam jangka pendek atau untuk satu bulan ke depan sehingga investor dapat memanfaatkan momentum trading,” ujar Dessy saat dihubungi Bisnis.
Hal itu dikarenakan dalam UU Minerba itu, terdapat tujuh perusahaan batu bara generasi pertama yang akan habis masa kontraknya telah mendapatkan kepastian investasi yaitu seperti PT Adaro Energy Tbk. (ADRO) dan PT Indika Energy Tbk. (INDY).
UU Minerba itu diharapkan dapat menjadi pendorong investasi di tengah pelemahan yang terjadi. Secara historis, sektor Minerba berkontribusi hingga 50 persen terhadap total PNBP ESDM setiap tahunnya, sehingga dengan adanya kepastian investasi, maka dapat mendorong pendapatan negara.
Dessy merekomendasikan saham PT Bukit Asam Tbk. (PTBA) karena potensi pembagian dividend yield yang tinggi.
Perkembangan Harga Saham Emiten Batu Bara (year to date) | ||
---|---|---|
Kode Emiten | Harga | Perubahan Harga Year to date |
DSSA | 21250 | +53.15% |
HRUM | 1250 | -5.30% |
TOBA | 334 | -6.70% |
BYAN | 14500 | -8.81% |
PTRO | 1245 | -15.92% |
MBAP | 1605 | -18.94% |
MYOH | 990 | -23.55% |
BUMI | 50 | -24.24% |
PTBA | 1905 | -28.38% |
INDY | 745 | -29.73% |
ADRO | 1000 | -32.76% |
ITMG | 7650 | -33.33% |
DOID | 127 | -54.64% |
FIRE | 114 | -65.03% |