Bisnis.com, JAKARTA - Pasar minyak sawit atau crude palm oil (CPO) diproyeksikan semakin tertekan dalam beberapa bulan mendatang seiring dengan harga yang telah menembus level psikologis 2.000 ringgit per ton.
Berdasarkan data Bloomberg, pada pekan ini harga CPO untuk kontrak Juli 2020 di bursa Malaysia berhasil menembus ke bawah level 2.000 ringgit untuk pertama kalinya dalam 10 bulan terakhir.
Bahkan, pada pada penutupan perdagangan Rabu (6/5/2020) harga CPO dengan kontrak yang sama melemah 28 poin ke level 1.947 ringgit per ton, menjadi level terendah sejak Juli 2019.
Namun, pada penutupan perdagangan Jumat (8/5/2020) harga CPO berhasil rebound 73 poin dan parkir di level 2.019 ringgit per ton.
Direktur Godrej International Dorab Mistry mengatakan bahwa pasar minyak sawit akan menghadapi masa tersulitnya dalam 3 hingga 4 bulan ke depan karena sentimen peningkatan produksi dan lemahnya permintaan dari importir CPO utama dunia.
Bahkan, harga pun saat ini semakin dekat dengan ongkos produksi petani kecil Indonesia dan Malaysia yaitu di kisaran harga 1.800 ringgit per ton.
Permintaan minyak nabati untuk digunakan sebagai bahan baku biodiesel seiring dengan kebijakan dari Indonesia dan Malaysia pun sulit untuk menjadi katalis positif harga karena harga minyak mentah pun saat ini menjadi sangat murah menjadikan CPO kurang menarik.
“Masih ada ruang untuk minyak sawit bergerak turun sehingga dapat menarik permintaan masuk ke pasar lebih banyak, tetapi setiap pemulihan permintaan mungkin akan memakan waktu enam bulan agar harga kembali ke level normalnya,” ujar Doran seperti dikutip dari Bloomberg, Sabtu (9/5/2020).
Namun, Dorab memperkirakan harga CPO tidak akan anjlok dalam sehingga membuat level terendahnya dalam sejarah karena pandemi Covid-19 tampak berangsur mereda. Harga minyak sawit dapat pulih pada kuartal IV/2020 dan seterusnya ditopang permintaan minyak nabati dan biodiesel yang lebih baik pada 2021.
Sementara itu, Analis Capital Futures Wahyu Laksono mengatakan, harga CPO yang telah menembus ke bawah 2.000 ringgit menunjukkan bahwa pasar minyak sawit masih bearish dan akan semakin sulit untuk naik.
“Bisa jadi level 1.900 bahkan 1.800 ringgit per ton tidak mustahil terjadi dalam jangka pendek hingga menengah. Namun kecenderungannya selalu ada upaya untuk rebound yang wajar dekati 2.000 ringgit per ton lagi sepanjang tahun ini,” ujar Wahyu kepada Bisnis, Rabu (6/5/2020).
Hal itu disebabkan harga yang murah jelas akan memicu spekulasi buy oleh para investor. Apalagi, jika didukung oleh isu tertentu atau lebih jika berhasil didorong fundamental yang menunjukkan sinyal pemulihan.
Oleh karena itu, dia menilai pada sepanjang tahun ini harga CPO masih berpotensi untuk menguji level 2.300 ringgit per ton, walaupun untuk menyentuh ke atas level itu akan sangat sulit.
Dia menjelaskan bahwa kali ini harapan fundamental datang dari mulai atau akan dilonggarkannya lockdown di berbagai negara sehingga harapan atas membaiknya permintaan meningkat dan akan sangat wajar jika CPO akan rebound walaupun sementara.