Bisnis.com, JAKARTA—Lembaga pemeringkat Fitch Rating memproyeksikan profil kredit perusahaan telekomunikasi dan perusahaan operator menara sebagian besar tidak akan terpengaruh oleh pelemahan rupiah. Mata uang garuda telah terdepresiasi hingga 12 persen sepanjang tahun berjalan.
Dalam publikasinya, Fitch mengatakan bahwa kombinasi atas kontrak lindung nilai, utang jangka panjang dan lindung nilai alami akan menjadi tameng perusahaan-perusahaan tersebut dari perubahan peringkat.
Namun di saat yang sama, arus kas bebas perusahaan dapat terpengaruh oleh membengkaknya belanja modal atau capital expenditure (capex) yang sebagian dihargai dalam mata uang asing.
Baca Juga : Ini Alasan Sekuritas Jagokan Saham Telkom (TLKM) |
---|
Pemimpin pasar telko, PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk. diyakini bakal selamat dari pelemahan rupiah karena pengeluaran dan utang berdenominasi mata uang asing yang dimiliki oleh perusahaan pelat merah tersebut hanya sedikit.
Tercatat, hanya sekitar 10 persen dari biaya operasional tahunan perusahaan berkode emiten TLKM ini yang dibayarkan dalam mata uang asing yakni biaya sewa satelit, biaya interkoneksi, dan bisnis internasional.
Telkom juga memiliki eksposur yang rendah terhadap utang mata uang asing. Berdasarkan laporan keuangan perseroan per September 2019, sebanyak 95 persen pinjaman TLKM menggunakan rupiah, sedangkan 4 persen sisanya berupa dolar AS, yen Jepang, dan ringgit Malaysia.
Pun, dari total pendapatan perusahaan yang memiliki peringkat investasi ‘BBB’ dan outlook stabil ini, hanya 2-3 persen yang hadir dalam bentuk dolar AS. Utamanya pendapatan yang berasal dari bisnis interkoneksi dan bisnis satelit.
Sementara itu, peringkat operator ketiga terbesar di Indonesia yakni PT Indosat Tbk. (ISAT) juga cenderung aman karena perseroan tak lagi memiliki utang dalam denominasi dolar AS, setelah melakukan refinancing sebesar US$20 juta pada 2019 lalu.
Berdasarkan buku keuangan perseroan per akhir 2019, pos kewajiban perusahaan yang memiliki rating ‘BBB/AAA’ dengan outlook stabil ini tercatat sebesar Rp21,6 triliun yang sepenuhnya dalam bentuk rupiah.
Fitch memperkirakan pendapatan dan biaya operasional Indosat sebagian besar dalam mata uang lokal, dengan kurang dari 10 persen dalam mata uang asing. Namun, marjin EBITDA operasional ISAT diperkirakan akan sedikit tertekan karena sekitar 15% dari total kewajiban sewa dalam dolar AS.
Proyeksi serupa juga berlaku untuk operator lainnya yakni PT XL Axiata Tbk (EXCL). Per akhir Desember 2019, perusahaan yang juga memiliki rating ‘BBB/AAA’ dengan outlook stabil ini tercatat memiliki liabilitas sebesar Rp27 T yang seluruhnya dalam mata uang lokal, termasuk kewajiban sewa menara.
Di sisi lain, di antara seluruh perusahaan operator menara independen, PT Tower Bersama Infrastructure Tbk. (TBIG) memiliki utang berdenominasi dolar AS paling tinggi, yakni mencapai 82 persen dari total liabilitasnya.
Sebagai perbandingan, rasio utang mata uang asing pemimpin pasar PT Profesional Telekomunikasi Indonesia (Protelindo) hanya sekitar 28 persen, sedangkan perusahaan menara terbesar ketiga PT Solusi Tunas Pratama sebesar 56 persen.
Akan tetapi, TBIG berpotensi selamat karena perusahaan yang memiliki peringkat investasi ‘BB/AA-‘ dengan outlook stabil tersebut telah melakukan lindung nilai terhadap pokok utang berdenominasi asingnya dengan cross-currency swaps dan lindung nilai alami dari penerimaan perseroan tahun lalu sebesar US$40 juta.
“Kami meningkatkan peringkat TBIG pada Februari 2020 lalu, seiring komitmen perseroan untuk menjaga tingkat leverage-nya, yang diukur dengan besaran utang bersih atau EBITDA pada kuartal akhir tahun lalu yang di bawah 5.0x dan FFP net leverage 5.5x,” tulis Fitch.
Likuiditas TBIG juga dinilai cukup kuat setelah perseroan berhasil mengumpulkan US$350 juta atau sekitar Rp5,6 triliun dari penerbitan surat utang tanpa jaminan pada Januari 2020 lalu dan menambah sekitar Rp1,5 triliun dari obligasi lanjutan pada Maret.
Kedua surat utang tersebut dan fasilitas pinjaman dari bank senilai US$200 juta diprediksi bakal mampu menutupi utang jangka pendek TBIG yang mencapai Rp2,2 triliun.
Adapun, perusahaan menara lainnya yakni PT Solusi Tunas Pratama (STP) tercatat memiliki utang berdenominasi dolar AS senilai US$303 juta. Namun, perseroan juga telah melakukan lindung nilai atas semua pembayaran pokok dan bunganya melalui currency swaps.
Fitch memperkirakan kurang dari 10 persen pendapatan STP yang datang dalam denominasi dolar AS. Di sisi lain, hanya sekitar 10 persen dari total utang STP atau sekitar Rp707 miliar yang jatuh tempo di 2020 dan 2021, sedangkan 76 persen lainnya akan jatuh tempo pada 2023 mendatang.
Sebagai penguasa pasar, Protelindo membukukan US$308 juta hutang dalam mata uang asing. Dari total utang Rp15,3 triliun, 12 persen di antaranya dalam dolar AS dan 16 persen dalam yen.
Risiko nilai tukar mata uang asing secara telah terlindungi secara alami karena Protelindo mendapat sekitar 21 persen pendapatan dari PT Hutchison Indonesia Tbk dalam dolar AS dan memiliki kas yang memadai sebesar US$25 juta pada akhir Desember 2019.
Utang berdenominasi dolar AS milik Protelindo juga sepenuhnya ditanggung oleh pendapatan kontrak sebesar US$208 juta dari Hutch yang akan diterima pada 2020-2024. Risiko mata uang asing juga berkurang setelah perusahaan membayar 13,3 miliar yen Jepang atau sekitar US$120 juta obligasi pada Februari 2020.
Perseroan kemudian menandatangani kontrak lindung nilai sebesar US$25 juta untuk lindung nilai obligasi dolar AS-nya. Adapun sisa obligasi 5,7 miliar yen Jepang atau sekitar Rp2,4 triliun dan US$138 juta masing-masing akan jatuh tempo pada 2022 dan 2024.