Bisnis.com, JAKARTA – Emiten konstruksi dan jalan tol dalam indeks BUMN20 memasuki periode horor pada tahun ini seiring dengan merebaknya virus corona di Indonesia, proyeksi kinerja menurun tak terhindarkan.
Tercatat ada enam lima konstruksi dan satu jalan tol dalam indeks BUMN20, yakni PT Wijaya Karya (Persero) Tbk., PT PP (Persero) Tbk., PT Waskita Karya (Persero) Tbk., PT Adhi Karya (Persero) Tbk., PT Wijaya Karya Bangunan Gedung Tbk., dan PT Jasa Marga (Persero) Tbk.
Sepanjang tahun lalu, seluruh emiten tersebut mencatatkan kinerja bervariasi. Wijaya Karya menjadi emiten dengan perolehan kinerja terbaik sepanjang 2019, dengan perolehan laba Rp2,28 triliun, tumbuh 32,06 persen secara year on year (yoy).
Anak usahanya, Wika Gedung juga turut mengecap pertumbuhan laba bersih pada 2019. Namun, tidak terlalu signifikan dibandingkan induknya, hanya tumbuhn 2,67 persen secara tahunan menjadi Rp456,37 miliar.
Emiten konstruksi lainnya seperti PT PP dan Waskita Karya justru membukukan kinerja kurang moncer pada tahun lalu. Keduanya mengalami penurunan laba bersih masing-masing 38,06 persen dan 76,33 persen.
Sementara itu, Adhi Karya membukukan pertumbuhan laba bersih sebesar 3,05 persen menjadi Rp663,81 miliar. Perolehan laba terendah di antara BUMN karya lainnya ini ditopang oleh laba dari perusahaan patungan serta efisiensi dari segi beban lainnya.
Satu benang merah yang sama terjadi pada tahun lalu pada kinerja BUMN karya adalah penurunan pendapatan. Pendapatan Wijaya Karya turun 12,66 persen, PT PP turun 1,83 persen, Waskita Karya turun 35,67 persen, dan Adhi Karya turun 2,22 persen.
Kepala Riset Praus Capital Alfred Nainggolan mengatakan bahwa tren penurunan pendapatan memang menjadi momok bagi sektor konstruksi pada tahun lalu. Dalam kondisi itu, menurutnya, emiten yang mampu melakukan efisiensi lah yang dapat tetap mempertahankan kinerja.
“Kita bisa lihat WIKA WIKA bottom line nya tetap tumbuh meski top line turun, ini menunjukkan kemampuan mereka melakukan efisiensi dan sinergi dengan anak usaha dalam menghasilkan growth di bottom line,” ujarnya kepada Bisnis.com.
Alfred mengatakan bahwa kunci efisiensi yang dilakukan Wijaya Karya pada tahun lalu adalah menurunkan beban keuangannya pada tahun lalu. Hal yang sama juga dilakukan oleh Adhi Karya, dilihat dari margin labanya yang membaik.
Sementara itu, emiten konstruksi lainnya membukukan penurunan pendapatan dan peningkatan beban yang membuat margin laba terpangkas.
Dia menyatakan bahwa kinerja pada tahun lalu juga dapat dijadikan gambaran seberapa kuat emiten-emiten mengarungi periode 2020 yang sangat berat. Dampak penyebaran Covid-19 di Indonesia membuat banyak proses tender proyek-proyek baru tersendat dan menjadi tantangan berat untuk emiten karya.
Menurutnya, hampir dapat dipastikan bahwa selruuh emiten konstruksi akan mengalami penurunan kinerja pada tahun ini akibat virus corona. Namun, dalam kondisi seperti ini, Wijaya Karya sebagai market leader diprediksi mampu mencatatkan kinerja yang lebih baik. Pasalnya, emiten berkode saham WIKA ini dinilai memiliki order book paling tinggi.
Wijaya Karya diketahui memiliki total order book atau kontrak yang dihadapi senilai Rp120,5 triliun. Sebanyak Rp76 triliun di antaranya akan masuk sebagai produksi pada tahun ini.
Selain itu, Alfred menilai Wijaya Karya juga membukukan kinerja lebih baik dibandingkan peers karena memiliki diversifikasi kontrak lebih mumpuni. Perseroan tidak terlalu bergantung kepada kontrak dari pemerintah yang saat ini sangat berisiko mengalami penundaan.
“Historisnya sudah mengindikasikan itu, artinya kemampuan bertahan WIKA akan jauh lebih kuat dibadingkan emiten karya yang lain, anak usahanya juga mereka cukup kuat, juga dari sisi model bisnisnya pelanggan mereka cukup terdiversifikasi dengan baik,” ujarnya.
Sementara itu, emiten infrastruktur jalan tol di indeks BUMN20, yakni Jasa Marga dinilai punya prospek yang lebih horor pada tahun ini.
Tidak hanya berhadapan dengan potensi penurunaan pendapatan tol, perseroan juga memiliki ruang gerak terbatas karena tingkat beban keuangan yang tinggi.
Dia memperkirakan penurunan lalu lintas akibat menurunnya mobilitas masyarakat di tengah pandemi berpotensi menggerus pendapatan tol hingga 30 persen. Proyeksi ini, lanjutnya, berdasarkan perkiraan virus corona sudah tertangani pada semester II/2020.
“Kemungkinan tekanannya akan semakin besar, karena tahun ini mereka akan dapat tekanan dari pendapatan tol mereka. Kalau lihat beban keuangan juga tidak ada menyesuaikan, artinya besar kemungkinan tekanan terhadap bottom line makin berat,” ujarnya.
Menurutnya, dalam kondisi seperti sekarang emiten berkode JSMR ini perlu mengambil langkah konservatif dalam berekspansi. Menunda rencana ekpansi ruas tol baru, lanjutnya, menjadi salah satu strategi yang paling mungkin diambil. Namun, ada juga pilihan lain dengan tetap nekat berekspansi dan mengharapkan keuangan pulih pada 2021—2022.
“JSMR bisa saja mengorbankan tahun ini, mereka tetap ekspansi tahun ini, beban keuangannya meningkat dan saat yang sama labanya akan turun, dengan harapan mengincar pertumbuhan dan keuangan membaik di 2021—2022,” ujarnya.
Dari enam emiten di sektor konstruksi dan jalan tol, Alfred menjagokan WIKA. Dia merekomendasikan beli saham WIKA dengan target harga Rp1.600 per saham yang didasarkan pada proyeksi price earning ratio (PER) mencapai 6 kali.