Bisnis.com, JAKARTA – Emiten konstruksi PT Acset Indonusa Tbk. (ACST) membukukan kenaikan pendapatan pada 2019. Namun, kenaikan pos beban secara signifikan tinggi membuat perseroan membukukan rugi bersih pada periode tersebut.
Mengutip laporan keuangan perseroan pada tahun lalu, total pendapatan perseroan meningkat 5,96 persen secara tahunan menjadi Rp3,94 triliun. Akan tetapi, posisi laba bersih perseroan pada 2018 senilai Rp18,28 miliar berbalik menjadi rugi bersih Rp1,13 triliun pada 2019.
Salah satu penyebab penurunan laba adalah kenaikan beban pokok pendapatan sebesar 33,74 persen menjadi Rp4,04 triliun.
Melalui keterangan resminya, anak usaha PT Astra International Tbk. ini menjelaskan bahwa rugi ini disebabkan oleh keterlambatan penyelesaian proyek Contractor Pre Financing (CPF) dan proyek struktur. Hal ini juga memberikan dampak serupa pada periode 2018.
“Lebih lanjut, keterlambatan penyelesaian proyek menimbulkan peningkatan biaya pendanaan, biaya overhead, dan biaya lain yang dialokasikan untuk percepatan penyelesaian proyek tersebut. Di samping ini, ACSET juga mengalami penyesuaian nilai pekerjaan sehingga pendapatan dan laba proyek berjalan menjadi terkoreksi,” dikutip dari siaran pers, Rabu (26/2/2020).
Di samping itu, perseroan menyatakan bahwa perseroan mengalaim penyesuaian nilai pekerjaan pada tahun lalu. Hal ini menyebabkan pendapatan dan laba proyek berjalan menjadi terkoreksi.
Baca Juga
Perseroan juga menilai periode 2019 banyak dipengaruhi oleh dinamika politik di dalam negeri akibat adanya penyelenggaraan pemilu. Hal ini dinilai cukup memengaruhi proses dan waktu tender, sehingga banyak proyek yang tertunda hingga 2020.
Di sisi lain, perseroan juga mencatatkan kenaikan liabilitas cukup besar pada periode 2019. Pos liabilitas perseroan meningkat sekitar 35 persen, dari Rp7,5 triliun pada akhir 2018 menjadi Rp10,16 triliun pada akhir 2019.
Perseroan menjelaskan kenaikan tersebut disebabkan oleh kenaikan pinjaman dari pemegang saham dan utang usaha. Kenaikan ini sejalan dengan peningkatan kebutuhan modal kerja untuk mendukung pembiayaan operasional proyek berjalan perseroan.
Sepanjang 2019, perseroan membukukan nilai kontrak baru (NKB) Rp1,7 triliun, dari beberapa proyek strategis seperti Pekerjaan Sipil Pembangkit Listrik Tenaga Gas & Uap (PLTGU) Jawa 1, Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Soma Karimun (2 x 25 MW) di Riau, dan proyek struktur Arumaya Residence.
“Hingga kini, ACSET masih mengerjakan sejumlah proyek dengan total kontrak senilai Rp4,1triliun, yang mana terdiri dari carry over order tahun 2018 dan kontrak baru tahun 2019,” katanya.
Dihubungi secara terpisah, Sekretaris Perusahaan Acset Indonusa Maria Cesilia Hapsari menilai, secara umum kinerja pada tahun ini meleset dari ekspektasi.
“Saat ini rights issue adalah salah satu opsti terbaik untuk memperkuat struktur permodalan dan untuk membayar utang kami. Kami berencana terbitkan saham sebesar-besarnya 15 miliar saham baru,” katanya kepada Bisnis.com, Rabu (26/2/2020).
Strategi itu akan diringi dengan lagkah perseroan untuk lebih selektif dalam memilih proyek pada tahun ini. Selain itu, perseroan akan meningkatkan kontrol perusahaan terhadap pelaksanaaan proyek. Strategi jangka panjang dan jangka pendek ini diharapkan dapat membawa perbaikan bagi perseroan.
“Kami menerapkan Know Your Counterpart. Kami mengetahui dengan baik track record dan kondisi keuangan dari pemilik proyek, dan termasuk juga kami selektif dalam memilih proyek yang sesuai dengan kemampuan dan keahlian kami,” jelasnya.
Sementara itu, rencana penerbitan saham baru atau rights issue oleh PT Acset Indonusa Tbk. dinilai tidak akan memberikan solusi tepat untuk mengembalikan kinerja perseroan pada tahun ini.
Analis Binaartha Sekuritas Nafan Aji Gusta Utama mengatakan bahwa rencana tersebut hanya akan menjadi solusi jangka pendek untuk melunasi sebagian piutang. Hal ini dinilai tidak akan memberi dampak positif secara berkelanjutan.
“Saya pikir ya, solusi tersebut hanya bersifat jangka pendek, kalau kita lihat sekarang yang diperlukan oleh mereka adalah menyampaikan rencana jangka panjang terkait ekspansi dan pengembangan mereka yang lebih baik,” katanya.
Pasalnya dia menilai kerugian yang dicatatkan pada 2019 diiringi dengan kenaikan utang yang cukup besar. Hal ini membuat rasio utang terhadap ekuitas atau debt to equity (DER) perseroan berada di kisaran 35 kali.
Dia mengatakan bahwa kinerja perseroan yang kurang memuaskan juga tercermin dari respons investor terhadap saham mereka. Sepanjang tahun berjalan saham emiten berkode ACST ini menurun 37,11 persen. Adapun, pada perdagangan hari ini, harga sahamnya turun 3,94 persen.
Menurutnya, dengan pergerakan yang masih bearish dia belum dapat menentukan rekomendasi terhadap saham ACST. Dia mengatakan terlalu dini untuk menentukan rekomendasi pergerakan saham tersebut.
Dia menambahkan meski Acset Indonusa merugi, hal ini tidak akan berdampak siginifikan terhadap saham induk usahanya, Astra International. Kerugian ini dinilai masih dapat ditutupi oleh kinerja lini bisnis lain milik Grup Astra, seperti otomotif dan perkebunan.
“ASII [kode saham Astra International] saya rasa masih menunjukkan akumulasi beli karena masih punya prospek yang bagus dari lini binis lain. Saya pikir hal ini akan tetap berlaku selama harga saham ASII tidak menyentuh kisaran Rp5.800 per saham,” jelasnya.