Bisnis.com, JAKARTA - Goldman Sachs Group memproyeksi harga emas berpeluang menyentuh level US$1.850 per troy ounce pada kuartal kedua tahun ini seiring dengan masih tingginya minat investor terhadap aset investasi aman atau safe haven.
Mengutip riset terbaru Goldman Sachs, imbal hasil obligasi Amerika Serikat dan pasar ekuitas diperkirakan akan terus terkulai. Hal ini dipicupelemahan pertumbuhan ekonomi global sebagai dampak dari penyebaran virus corona covid-19 yang belum juga mereda.
“Sentimen menghindari risiko tersebut telah menaikkan perkiraan emas kami, yaitu emas menuju level US$1.750 per troy ounce pada kuartal pertama tahun ini dan secara subtansial bisa menuju US$1.850 per troy ounce pada kuartal kedua tahun ini,” tulis Goldman Sachs dalam riset yang dikutip Bisnis, Jumat (21/2/2020).
Goldman melihat reli kenaikan harga emas didorong oleh pencarian berkelanjutan untuk imbal hasil oleh investor, peningkatan permintaan untuk diversifikasi portofolio, dan ketidakpastian politik yang lebih tinggi.
Berdasarkan data Bloomberg, pada perdagangan Jumat (21/2/2020) hingga pukul 17.03 WIB, harga emas berjangka untuk kontrak April 2020 di bursa Comex bergerak menguat 1,05 persen menjadi US$1.637 per troy ounce.
Sementara itu, harga emas di pasar spot bergerak menguat 0,97 persen menjadi US$1.635,28 per troy ounce. Adapum, level tersebut merupakan level tertinggi emas sejak 2013.
Baca Juga
Analis CBA Vivek Dhar mengatakan permintaan aset investasi aman didorong oleh kekhawatiran pasar terhadap pertumbuhan global yang diyakini melemah jika penyebaran virus corona tidak segera berakhir. Dia menambahkan, fakta sejarah menunjukkan, permintaan safe haven hanya mendorong kenaikan harga emas dalam jangka pendek.
"Pendorong harga emas yang paling dominan dalam jangka panjang adalah hubungan negatif antara hasil riil AS jangka panjang dan harga emas,” ujar Vivek seperti dikutip Bloomberg, Jumat (21/2/2020).