Bisnis.com, JAKARTA – Lepas dari mulut harimau, masuk kedalam mulut buaya. Luput dari satu masalah, malah jatuh kembali ke masalah yang lain.
Peribahasa itu agaknya menggambarkan kondisi saham PT Totalindo Eka Persada Tbk. (TOPS). Setelah suspensi sahamnya dibuka oleh Bursa Efek Indonesia (BEI), saham TOPS malah terkapar ke level Rp50.
Saham TOPS kembali diperdagangkan pada perdangan Rabu (19/2/2020), setelah hari sebelumnya, Selasa (18/2/2020) digembok BEI. Namun, harga saham anjlok 25,37 persen atau 17 poin ke level Rp50 saat memasuki pukul 10:15 WIB—10:30 WIB.
Fluktuasi saham TOPS memang sangat terlihat, terutama sejak pekan lalu. Pasalnya, kenaikan dan penurunan harga bisa mencapai belasan persen. Bahkan, pada Senin (17/2/2020), atau sehari sebelum suspensi, saham TOPS anjlok 22,09 persen.
Sepanjang tahun berjalan, saham TOPS terkoreksi 81,48 persen dari posisi akhir Desember 2019 senilai Rp270. Namun, menengok ke belakang, penurunan saham tidak hanya berlangsung pada 2020, tetapi juga tahun-tahun sebelumnya.
Saham TOPS mencapai puncaknya pada 10 Juli 2018 di posisi Rp990. Sepanjang 2018, saham emiten konstruksi itu menguat 15,92 persen ke level Rp830, dari akhir 2017 di level Rp716.
Baca Juga
Pada 2019, pergerakan saham TOPS cenderung menurun. Koreksi itu semakin terasa pada 11 November 2019, ketika harga berada di level Rp580, kemudian berangsur anjlok ke Rp270 pada akhir 2019.
Dari sisi fundamental, kinerja keuangan Totalindo Eka Persada memang tengah menurun. Per September 2019, pendapatan perusahaan mencapai Rp631,35 miliar, turun 45,11 persen year on year (yoy) dari Rp1,15 triliun per September 2018.
Perusahaan pun membukukan rugi tahun berjalan sebesar Rp29,22 miliar, berbalik arah dari posisi per September 2018 dimana laba tahun berjalan mencapai Rp85,58 miliar.
Sebelumnya, manajemen Totalindo Eka Persada membidik kontrak baru hingga Rp4 triliun pada 2020 seiring dengan sektor properti yang kembali menggeliat.
Wakil Direktur Utama Totalindo Eka Persada Joni mengatakan beberapa proyek prioritas yang dibidik perseroan saat ini pun sudah mengerucut dan sedang dalam proses negoisasi senilai Rp1,5 triliun hingga Rp2 triliun pada awal 2020.
“[Kontrak baru] Rp3 triliun sampai Rp4 triliun masuk lah di 2020,” ujarnya sesuai Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) di Bursa Efek Indonesia, Senin (23/12/2019).
Sepanjang 2019, emiten dengan kode saham TOPS tersebut menargetkan kontrak baru sekitar Rp2,5 triliun. Saat itu, perseroan telah mencapai 91 persen dari target kontrak baru, yaitu senilai Rp2,3 triliun dengan penambahan kontrak baru pada Desember 2019 senilai Rp88 miliar untuk proyek Apartemen 31 Sahid Sudirman Suites Makassar.
Beberapa proyek prioritas perseroan antara lain pembangunan apartemen di Jakarta dan Lampung. Joni menilai sepanjang tahun ini bisnis perseroan dipengaruhi oleh momentum pemilihan umum. Pada akhir tahun ini, pendapatan diperkirakan hanya tumbuh single digit dibandingkan dengan tahun lalu.
“Faktor eksternal kan juga lagi berat ya, tetapi kelihatannya sektor properti sudah mulai jalan. Mudah-mudahan semester I/2020 sudah bisa berjalan lagi,” jelasnya.
Joni menambahkan proyek yang digarap perseroan didominasi oleh high rise building atau apartemen. Pada awal tahun ini TOPS mulai masuk ke sektor infrastruktur, tetapi masih dalam porsi kecil dan sebagai subkontraktor.
Untuk mendukung bisnis tahun depan, perseroan berencana menerbitkan saham baru dengan memberikan hak memesan efek terlebih dahulu (HMETD) atau rights issue. Dalam RUPSLB, TOPS meminta restu pemegang saham untuk melaksanakan aksi korporasi ini.
Rencananya HMETD mencakup pemberian hak untuk membeli sebanyak-banyaknya 4 miliar saham dengan nilai nominal Rp20 per saham. Kemungkinan aksi ini bakal dilaksanakan pada Maret 2020.
Salah satu tujuan penggunaan dana rights issue adalah untuk belanja modal. Kendati demikian, perseroan masih enggan menyebutkan alokasi dana belanja modal 2020. Sebagai informasi pada 2019, capex yang disiapkan sekitar Rp200 miliar.