Bisnis.com, JAKARTA – PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. menargetkan bisa menekan biaya operasional ke kisaran US$16,5 juta per bulan atau sekitar Rp226,33 miliar (Kurs Rp13,717). Pemangkasan beban operasional diharapkan bisa mengerek EBITDA perseroan di kisaran US$120 juta s.d US$150 juta.
Direktur Utama Krakatau Steel Silmy Karim mengatakan pihaknya bakal melakukan beragam efisiensi untuk dapat menurunkan beban operasional. Silmy mengaku, biaya operasional perseroan mengalami tren penurunan.
“Posisi beban operasional saat ini sekitar US$18 juta per bulan dari semula US$33 juta rata-rata pada 2018,” ujarnya kepada Bisnis, Selasa (4/2/2020).
Penurunan biaya operasional diharapkan bisa meningkatkan laba sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi atau EBITDA. Sejak Oktober 2019, emiten bersandi saham KRAS itu mencetak EBITDA positif. Pada Oktober 2019 dan November 2019, EBTIDA Krakatau Steel tercatat masing-masing US$3 juta dan US$5,6 juta.
Dalam catatan Bisnis.com, salah satu bentuk efisiensi yang sudah dilakukan Krakatau Steel yaitu menghentikan operasional fasilitas blast furnace sejak awal Desember 2019. Operasional fasilitas itu tidak efisien karena ketidaksesuaian antara perencanaan awal dengan implementasi operasional.
Proyek blast furnace dibangun berdasarkan asumsi harga gas US$4,5 per MMBtu. Sementara itu, harga gas saat ini mencapai US$9 per MMBtu. Krakatau Steel juga telah menutup beberapa pabrik yang dinilai tidak efisien.
Di sisi lain, emiten bersandi KRAS itu juga tengah menyiapkan rencana pelepasan saham anak usaha sebagai upaya untuk melunasi utang kepada kreditor. Rencana divestasi anak usaha diharapkan bisa terealisasi pada kuartal II/2020.
Silmy menyebut, sepanjang kuartal I/2020, KRAS masih mengidentifikasi anak usaha mana yang akan dilego, termasuk skema divestasi dan calon mitra strategis. “Kuartal II/2020 kami mulai eksekusi. Untuk detail target dana dan lain-lain masih dikaji,” jelas mantan Dirut PT Pindad (Persero) tersebut.