Bisnis.com, JAKARTA - Harga komoditas kompak bertengger di zona merah sepanjang Januari 2020. Pencapaian yang mengecewakan ini mengubur optimisme pasar yang pada awalnya berharap harga komoditas akan bergerak naik di awal tahun.
Sejak pertengahan Januari 2020, investor satu per satu hengkang dari pasar komoditas, mulai dari tembaga di London hingga minyak sawit atau crude palm oil (CPO) di Malaysia. Pelaku pasar khawatir, pasar akan terpengaruh pelemahan ekonomi China sebagai dampak dari wabah virus Corona.
Walau harga komoditas ikut 'meriang' karena terseret sentimen virus corona, ke depan harga komoditas diperkirakan bisa bangkit selama kuartal kedua 2020.
Semula, pelaku pasar sempat optimis harga komoditas akan merangkak naik. Pasalnya, Amerika Serikat dan China telah meneken kesepakatan perdagangan tahap pertama. Mufakat antara dua negara itu sudah dinanti sejak 2018 dan diharapkan menjadi katalis positif terhadap permintaan komoditas.
Aksi jual di bursa komoditas juga terjadi bersamaan dengan kejatuhan imbal hasil obligasi Amerika Serikat untuk tenor 10 tahun dalam beberapa perdagangan terakhirr. Imbal hasil obligasi AS yang turun sejak 2014 seharus bisa menopang penguatan harga karena dolar AS melemah. Walhasil, komoditas yang dibanderol dengan mata uang dolar AS lebih murah bagi pemegang mata uang lainnya.
Berdasarkan data bloomberg, pada perdagangan Januari tahun ini, kinerja terburuk dipimpin oleh minyak mentah, tembaga, dan kopi. Ketiga komoditas ini memimpin kejatuhan harga di masing-masing segmen komoditas.
Harga minyak mentah berjangka untuk kontrak Maret 2020 di Bursa Nymex tersungkur 15,16 persen ke level US$51,56 per barel. Adapun, harga minyak mentah Brent untuk kontrak April 2020 di bursa ICE tergelincir13,28 persen ke level US$56,62 per barel.
Sepanjang bulan lalu, minyak mentah menjadi komoditas yang paling menderita, didera sentimen ketegangan hubungan AS dengan Iran. Belum lagi, AS malah membanjiri pasokan di pasar di saat organisasi negara pengekspor minyak atau OPEC memangkas produksi.
Setali tiga uang, harga batu bara dunia juga turun meski tidak sebesar penurunan harga minyak. Di Bursa Newcastle, harga batu bara untuk kontrak April 2020 turun 4,63 persen. Banderol gas alam juga melorot 13,9 persen untuk kontrak Maret 2020.
Nasib buruk yang menimpa minyak dan batu bara juga mendera harga komoditas logam. Di Bursa London, harga seluruh logam dasar terkoreksi. Penurunan harga dipimpin tembaga (-9,83 persen), lalu nikel (8,38 persen), alumunium (4,86 persen), dan timah (4,66 persen).
Malang tak bisa ditolak. Pertanian juga terimbas kondisi global yang mana turut menyeret harga. Penurunan harga dipimpin kopo (-20,86 persen), minyak sawit atau CPO (14,09 persen), dan karet (9,71 persen).
Analis First Futures Tianjin Chen Tong mengatakan investor masih enggan berkecimpung di pasar komoditas dan berpaling ke instrumen saham.
“Segala sesuatu mulai dari konsumsi hingga logistik mengalami stagnasi dengan 30 provinsi dan wilayah China mengumumkan tingkat darurat kesehatan masyarakat tertinggi akibat virus corona sehingga pasar pada dasarnya bearish secara menyeluruh,” jelas Chen seperti dikutip dari Bloomberg, Senin (3/2/2020).
Adapun, Bank Sentral China telah berjanji untuk menyediakan likuiditas berlimpah dan mendesak investor untuk mengevaluasi dampak virus corona secara objektif. Bank sentral China pun telah menurunkan suku bunga pada Senin (3/2/2020) karena menyuntikkan dana segar ke dalam sistem keuangan.
Walaupun demikian, langkah Bank Sentral China mengguyur likuiditas tak mampu menghalau kekhawatiran investor. Hal ini tercermin dari pelemahan harga komoditas yang terus berlanjut hingga saat ini.
Bloomberg Economics memperkirakan, penyebaran virus corona dan bertambahnya jumlah korban jiwa serta masyarakat terjangkit dapat membuat pertumbuhan bisa merosot ke 4,5 persen. Level pertumbuhan itu merupakan yang terendah sejak 1992.
Mengutip riset Citigroup, dampak jangka pendek dari penyebaran virus corona juga berpotensi membuat minyak Brent mungkin akan turun ke level US$47 per barel. Pun demikian dengan tembaga yang harganya bakal meredup ke level US$5.300 per ton.
“Wabah terus memburuk sejauh ini, dan telah secara drastis mengubah prospek ekonomi China dan global. Dengan demikian prospek komoditas pada 2020 secara signifikan juga akan terkoreksi,” tulis Citigroup dalam publikasi risetnya, seperti dikutip dari Bloomberg, Senin (3/2/2020).