Bisnis.com, JAKARTA – Harga minyak telah turun ke bawah level US$65 per barel pada perdagangan Selasa (21/1/2020) seiring dengan meredanya kekhawatiran pasar terhadap gangguan pasokan akibat konflik Libya. Pasokan global dinilai cukup mengimbangi hilangnya ekspor dari Libya.
Berdasarkan data Bloomberg, pada perdagangan Selasa (21/1/2020) hingga pukul 19.14 WIB, harga minyak jenis WTI untuk kontrak Februari 2020 di bursa Nymex bergerak melemah 1,38 persen menjadi US$57,73 per barel.
Sementara itu, harga minyak jenis Brent untuk kontrak Maret 2020 di bursa ICE bergerak melemah 1,69 persen menjadi US$64,1 per barel.
Kenaikan harga minyak mereda setelah melonjak sebagai reaksi spontan akibat memanasnya konflik Libya yang mengakibatkan penutupan saluran pipa dari salah satu ladang minyak.
Kekhawatiran tersebut mereda setelah Badan Energi Internasional mengatakan bahwa pasar global memiliki basis pasokan yang kuat dan AS tengah semakin memperluas output minyak serpih.
Kepala Penelitian Komoditas Goldman Sachs Group Jeff Currie mengatakan bahwa pernyataan tersebut menjadi hambatan terbesar bagi harga minyak untuk bergerak naik ke atas US$70 per barel secara berkelanjutan.
“AS masih menyimpan sejumlah besar inventaris sehingga penguatan minyak segera mereda,” Jeff seperti dikutip dari Bloomberg, Selasa (21/1/2020).
Analis Pasar Senior Oanda Singapura Jeffrey Halley juga mengatakan bahwa pasar tampaknya telah berpindah fokus dari masalah Libya dan Irak karena kekhawatiran yang lebih mendesak yaitu permintaan.
IMF memproyeksi pertumbuhan global meningkat tahun ini menjadi 3,3 persen dari sebelumnya sebesar 2,9 persen pada 2019, menjadi kenaikan pertama dalam tiga tahun. Namun, kenaikan tersebut kurang dari 3,4 persen yang diproyeksikan pada Oktober.
“OPEC dan sekutunya memiliki kapasitas cadangan yang cukup untuk menebus hilangnya pasokan dari Libya dan belum ada tanda-tanda situasi Irak menjadi masalah struktural," papar Jeffrey.
Analis PT Monex Investindo Futures Faisyal mengatakan dalam risetnya bahwa harga minyak berpeluang bergerak turun dalam jangka pendek dipicu kekhawatiran pasar terhadap proyeksi pertumbuhan ekonomi global 2020 yang akan lebih lambat oleh IMF.
“Untuk sisi bawahnya, level support terdekat berada di US$58 per barel,,menembus ke bawah dari level tersebut berpeluang memicu penurunan lanjutan ke US$57,50 per barel sebelum menargetkan support kuat di US$56,8 per barel,” ujar Faisyal seperti dikutip dari publikasi risetnya, Selasa (21/1/2020).
Sementara itu, jika bergerak naik, level resisten terdekat berada di US$58,8 per barel, menembus ke atas dari level tersebut berpeluang memicu kenaikan lanjutan ke US$59,30 per barel sebelum menargetkan resisten kunci di US$60 per barel.