Bisnis.com, JAKARTA – Harga minyak mentah mengurangi sebagian kenaikannya pada perdagangan Senin (20/1/2020), saat proyeksi suplai berlebih mengimbangi kekhawatiran tentang disrupsi produksi di Irak dan Libya.
Berdasarkan data Bloomberg, harga minyak Brent untuk kontrak Maret 2020 hanya naik 35 sen ke level US$65,20 per barel di ICE Futures Europe Exchange, setelah sempat melonjak 1,8 persen ke level US$66, tertinggi sejak 9 Januari.
Adapun kontrak berjangka West Texas Intermediate (WTI) naik tipis 12 sen ke level US$58,66 per barel di perdagangan elektronik New York Mercantile Exchange, setelah sempat melonjak 2 persen. Aktivitas perdagangan di AS ditiadakan pada Senin karena libur nasional.
Harga minyak sempat melonjak karena meningkatnya ketegangan di Timur Tengah dan Afrika Utara menyebabkan produksi dan ekspor dari produsen utama OPEC, Irak dan Libya, terhenti.
Meski demikian, International Energy Agency (IEA) memproyeksikan pekan lalu bahwa “basis solid” atas persediaan minyak dan melonjaknya produksi minyak shale AS akan membantu gangguan cuaca.
Pada Senin (21/1) pula, Dana Moneter Internasional (IMF) memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi dunia, sehingga mengurangi prospek permintaan bahan energi.
Baca Juga
"Pasar minyak telah dikondisikan untuk mengatasi gangguan pasokan secara langsung. Kita benar-benar berada dalam kondisi kelebihan pasokan,” tutur Daniel Ghali, ahli strategi komoditas di TD Securities, dilansir dari Bloomberg.
Libya dikabarkan tidak akan dapat memompa minyak lebih dari 72.000 barel sehari setelah tangki penyimpanannya penuh atau turun lebih dari 1,2 juta barel per hari pada Sabtu (18/1).
Secara terpisah, para pekerja di Irak yang menginginkan kontrak kerja permanen memblokir akses ke ladang minyak Al Ahdab, sehingga mendorong penghentian produksi. Lapangan Badra, yang memiliki produksi sekitar 50.000 barel per hari, juga berisiko ditutup.
Meski konflik Libya dan drama lain telah mengguncang pasar, harga minyak mengalami sedikit perubahan dari posisinya pada akhir tahun lalu setelah bergerak dalam kisaran perdagangan level US$8 per barel.
“Kita berada dalam situasi dimana ada kekhawatiran mengenai pasokan jika melihat protes di Irak dan situasi di Libya, tetapi di sisi lain produk-produk [minyak] tampak lemah,” ujar Olivier Jakob, direktur pelaksana di Petromatrix GmbH, Swiss.