Bisnis.com, JAKARTA - Produksi dari salah satu ladang minyak terbesar di Libya terhenti setelah angkatan bersenjata menutup saluran pipa, menambah gangguan pasokan yang berlanjut akibat memanasnya perang saudara di Libya.
Setelah membekukan aktivitas ekspor di tiga pelabuhan Libya, Komandan Militer Timur Khalifa Haftar kini menutup pipa minyak Hamada-Zawiya sehingga memaksa perusahaan minyak milik negara National Oil Corporation (NOC) membatasi produksi minyak di ladang Sharara dan El Feel.
NOC mengatakan bahwa produksi minyak Libya akan dibatasi hingga 72.000 barel per hari karena tangki penyimpanannya penuh. Padahal, Libya telah berhasil memompa minyak dengan kapasitas 1,2 juta barel per hari belum lama ini.
Menurut perhitungan Bloomberg, jumlah produksi minyak Libya saat ini merupakan level produksi terendah sejak Agustus 2011.
Nantinya, produksi minyak Libya akan berasal dari ladang minyak lainnya seperti ladang minyak offshore dan ladang minyak Wafa. Sementara itu, ladang minyak Sharara yang memiliki kapasitas produksi hingga 300.000 barel per hari akan berhenti produksi setelah tangki penyimpanannya penuh.
Sebelumnya, Khalifa Haftar menghentikan aktivitas ekspor di pelabuhan Ras Lanuf, Sidra dan Brega sehari sebelum anggota faksi yang bertikai di negara Afrika Utara itu akan menghadiri pertemuan PBB di Berlin untuk mencoba menyelesaikan konflik perang saudara.
NOC pun telah menyatakan force majeure yang dapat memungkinkan Libya, negara dengan cadangan minyak terbesar di Afrika, untuk menangguhkan kontrak pengiriman secara hukum.
Direktur Riset Komoditas Bank Emirates yang berbasis di Emirates NBD PJSC Edward Bell mengatakan bahwa gangguan pasokan ini merupakan terkait kebijakan, sehingga mungkin ada perputaran yang cukup cepat jika ada solusi politik.
“Harga minyak mungkin akan melonjak tinggi, tetapi tidak sebanyak saat serangan 14 September 2019 pada fasilitas minyak Arab Saudi. Libya memiliki produksi yang lebih sedikit untuk dipertaruhkan dibandingkan dengan Arab Saudi,” ujar Edward seperti dikutip dari Bloomberg, Senin (20/1/2020).
Dia juga mengatakan bahwa kesulitan konflik perang saudara Libya cenderung masih lebih terkendali dibandingkan dengan krisis Arab Saudi, yang mengancam akan meningkat menjadi perang regional.
Di sisi lain, pada pertemuan KTT Berlin pada Minggu (19/1/2020) sepakat bahwa ketegangan di Libya harus dihentikan.
Kanselir Jerman Angela Merkel mengatakan bahwa KTT Berlin, yang dihadiri oleh para pendukung utama faksi-faksi Libya saingan, telah sepakat bahwa gencatan senjata sementara di Tripoli selama sepekan terakhir harus diubah menjadi gencatan senjata permanen untuk memungkinkan proses politik berlangsung.
Dia mengatakan bahwa sebuah komite khusus sudah dibentuk yang terdiri dari lima pejabat tinggi militer Libya dari masing-masing fraksi yang akan memantau pakta tersebut.
Negara-negara kekuatan dunia yang ada di Libya berkomitmen untuk mempertahankan embargo senjata yang diberlakukan PBB saat ini dan menutup seluruh jalur penjualan senjata ke sana.
“Kita semua tahu kalau kita belum menyelesaikan semua masalah yang muncul di Libya saat ini, tetapi kami menuju ke momentum itu,” ujar Merkel seperti dikutip dari Reuters, Senin (20/1/2020).