Bisnis.com, JAKARTA - Penguatan harga minyak mereda pada perdagangan Selasa (7/1/2020) seiring dengan langkah investor mempertimbangkan kembali kemungkinan gangguan pasokan Timur Tengah setelah serangan udara AS yang menewaskan komandan militer Iran.
Berdasarkan data Bloomberg, hingga pukul 12.20 WIB, harga minyak berjangka jenis WTI untuk kontrak Februari 2020 di bursa Nymex bergerak melemah 1,12% menjadi US$62,56 per barel. Sementara itu, harga minyak jenis Brent untuk kontrak Maret 2020 di bursa ICE bergerak melemah 1,18% menjadi US$68,1 per barel.
Kepala Penelitian Komoditas National Australia Bank Lachlan Shaw mengatakan bahwa pasar jelas mengkhawatirkan terkait dengan risiko gangguan pasokan akibat meningkatnya ketegangan hubungan antara AS dan Iran, tetapi hingga saat ini belum terdapat kejelasan arah dari ketegangan geopolitik itu.
“Pasar belum mengetahui ini dapat mempengaruhi produksi minyak atau tidak, sehingga pasar tampaknya telah dikalibrasi ulang dalam 24 hingga 36 jam terakhir pada beberapa kemungkinan itu,” ujar Shaw seperti dikutip dari Reuters, Selasa (7/1/2020).
Dia menambahkan bahwa Iran akan membutuhkan pendapatan mata uang asing dari ekspor minyak yang berkelanjutan dan itu akan bertentangan dengan minat mereka jika Iran tetap mencoba untuk memblokir Selat Hormuz. Seperti yang diketahui, sekitar 20% dari minyak dunia melewati jalur air Timur Tengah, yang berbatasan dengan Iran.
Konsultan Eurasia Group dalam catatannya mengatakan bahwa akibat kebutuhan ekspor tersebut, Iran kemungkinan akan lebih fokus pada target militer AS dibandingkan dengan target energi.
Baca Juga
“Namun, tidak berarti tidak akan mengganggu pengiriman sepenuhnya. Mungkin akan tetap mempengaruhi tapi tidak akan parah,” tulis Eurasia Group.
Prospek Harga Minyak
Sebelumnya, Analis Goldman Sachs Jeff Curie dalam publikasi risetnya mengatakan bahwa harus terjadi gangguan pasokan minyak dunia yang aktual dan signifikan akibat potensi perang AS dan Iran untuk mempertahankan harga minyak di dekat level US$70 per barel.
Pasalnya, Jeff menilai harga minyak berpotensi cenderung bergerak downside dalam beberapa pekan ke depan karena sebelum serangan terjadi, minyak telah diperdagangkan di atas nilai wajar fundamentalnya yaitu sebesar US$63 per barel.
Penguatan tersebut akibat meningkatnya minat investasi aset berisiko pada akhir 2019 meskipun terdapat bukti pertumbuhan ekonomi global yang terbatas.
“Harga minyak butuh gangguan pasokan yang signifikan karena prospek pembalasan oleh Iran yang akan menargetkan aset penghasil minyak belum cukup mempertahankan harga di level itu,” ujar Jeff dalam risetnya seperti dikutip dari Bloomberg.
Di sisi lain, minyak telah dibayangi sentimen positif seperti tingkat kepatuhan yang lebih tinggi di antara Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dalam memenuhi pembatasan kuota produksi yang bertujuan mengurangi pasokan.
Menurut survei Reuters, Anggota OPEC memompa 29,50 juta barel per hari (bph) bulan lalu, turun 50.000 bph dari angka revisi pada November 2019. Sementara itu, stok minyak mentah AS kemungkinan turun minggu lalu untuk minggu keempat berturut-turut karena ekspor meningkat.