Bisnis.com, JAKARTA – China, konsumen batu bara terbesar di dunia, diyakini akan mengurangi impor bahan bakar fosil pada 2020, setelah melakukan impor besar-besaran sepanjang 2019 dan dinilai akan mengurangi ekspor terutama dari Australia dan Indonesia.
Mayoritas analis menilai pengurangan impor pada 2020 didasari oleh prospek kenaikan pasokan batu bara domestik karena Negeri Panda tersebut tengah mempromosikan operasional tambang di dalam negeri yang lebih besar dan lebih efisien untuk mengurangi ketergantungan China terhadap bahan bakar fosil tersebut.
Berdasarkan data pemerintah China, impor batu bara untuk listrik dan baja dalam 11 bulan pertama 2019 sebesar 299 juta ton atau 10% lebih tinggi dari periode yang sama pada 2018. Jumlah impor itu juga merupakan rekor pembelian terbesar China sepanjang periode tersebut.
Angka itu juga telah melebihi kisaran impor pemerintah sebanyak 200 juta hingga 300 juta ton untuk mendukung penambang domestik dan menjaga perdagangan seimbang dengan negara-negara pengekspor.
Analis Bloomberg Intelligence Michelle Leung mengatakan bahwa perkiraan pengurangan impor tersebut akan terjadi seperti pada 2018 silam, ketika impor batu bara tahun sebelumnya berada dalam jumlah yang cukup tinggi.
Selain itu, dia juga mengatakan bahwa dengan pertumbuhan ekonomi yang paling lemah dalam beberapa dekade di tengah perang dagang dengan AS, pembatasan impor dinilai perlu lantaran untuk membantu mengurangi rasa sakit dari perlambatan.
Baca Juga
“Pasokan baru dari impor akan menciptakan kelebihan batu bara di pasar domestik China, sehingga kemungkinan pemerintah China akan memotong impor bersih batu bara sebesar 8% pada 2020 dan tentu akan mengurangi profitabilitas penambang, terutama di Australia dan Indonesia,” ujar Michelle dalam risetnya, seperti dikutip dari Bloomberg, Kamis (2/12/2020).
Sementara itu, Morgan Stanley dalam risetnya mengatakan bahwa dengan lebih banyak pasokan dari pasar domestik pada 2020, kontrol impor akan menyebabkan penurunan 25 juta ton dalam pembelian batu bara termal China tahun ini.
“Pemangkasan impor akan mengimbangi pertumbuhan permintaan di tempat lain di Asia, sehingga harga kemungkinan akan memperpanjang penurunannya," tulis Morgan Stanley dalam risetnya.
Direktur Global Penelitian Batu Bara IHS Markit James Stevenson mengatakan bahwa untuk negara yang membakar dan memproduksi setengah pasokan batu bara dunia, kekuatan pembatasan impor China dapat bervariasi tergantung pada prioritas pemerintah yang bersaing untuk melindungi penambang domestik dan pembangkit listrik.
Utilitas akan menghadapi tekanan tambahan di mulai pada Januari ketika reformasi pasar diharapkan menghasilkan harga listrik yang lebih rendah, yang mungkin mencapai garis bawahnya.
“Pemerintah China ingin meningkatkan ekonomi dengan cara apa pun yang dapat dilakukan, dan cara yang baik untuk melakukannya adalah membiarkan generator mendapatkan batu bara termurah,” papar James.
Menurut jajak pendapat yang dilakukan Bloomberg terhadap beberapa ekonom pada bulan lalu, pemerintah China diharapkan untuk menetapkan target pertumbuhan ekonomi sekitar 6% pada 2020, menyiratkan kelanjutan dari perlambatan pertumbuhan yang terjadi pada tahun lalu.
Adapun, sepanjang tahun lalu harga batu bara berjangka di bursa New Castle mencatatkan kinerja penurunan sebesar 27,99%. Berdasarkan data Bloomberg, pada penutupan perdagangan 2019, Selasa (31/12/2019), harga batu bara berada di level US$70,53 per ton, melemah tipis 0,01% dari perdagangan sebelumnya.