Bisnis.com, JAKARTA—Kondisi kelebihan pasokan dan perang harga diperkirakan menjadi tantangan bagi sektor semen pada tahun depan setelah konsumsi domestik melemah sepanjang 2019.
Hingga Oktober 2019, konsumsi semen nasional menurun 1,5% secara tahunan berdasarkan data Asosiasi Semen Indonesia (ASI) dari 56,97 juta ton menjadi 56,10 juta ton.
Kepala Riset Koneksi Kapital Alfred Nainggolan mengatakan pada tahun depan serapan semen bisa tumbuh, salah satunya berdasarkan indeks keyakinan konsumen yang diterbitkan oleh Bank Indonesia pada awal bulan ini.
Dalam laporan tersebut, optimisme konsumen terhadap kondisi usaha menguat dari 132 menjadi 139,1 dalam 6 bulan ke depan. Ekspektasi kegiatan usaha ke depan juga meningkat dari 130,8 menjadi 139,5.
“Saya melihat ini menjadi sinyal yang baik untuk permintaan semen nasional tahun depan, secara volume bisa naik,” katanya, Senin (16/12/2019).
Baca Juga
Walaupun volume penjualan pabrikan semen diperkirakan bisa membaik, Alfred menilai akan ada imbas pada bottom line karena ketika permintaan meningkat, pabrikan second liner akan masuk ke pasar. Dengan kondisi oversupply dan tingkat utilisasi industri semen berada di level 60%, para pabrikan semen pun bakal perang harga untuk merebut pasar.
Selain itu, peningkatan harga tahun depan diproyeksikan tidak bisa dilakukan seperti tahun ini karena sudah cukup banyak ditingkatkan. Alfred menyebutkan proyek infrastruktur pemerintah juga belum bisa menjadi katalis positif bagi sektor semen pada tahun depan karena pemindahan Ibu Kota ke Kalimantan Timur diperkirakan masih dalam tahap rancangan dan legalisasi.
Untuk sektor semen, Alfred menyatakan pihaknya tidak menjadikan sebagai top sektor karena utiliasi yang masih rendah dan ketika ada kenaikan permintaan diperkirakan ada perang harga sehingga menekan bottom line emiten semen.
“Namun, prospek yang paling baik berada di SMGR karena memiliki pasar yang paling besar,” katanya.
Samuel Sekuritas menyematkan penilaian underweight bagi sektor semen. Dalam riset yang diterbitkan belum lama ini, Analis Samuel Sekuritas Yosua Zisokhi mengatakan kelebihan pasokan masih menjadi isu utama pada tahun depan dan diperkirakan mencapai 40 juta ton.
“Harga jual semen akan sulit mengalami kenaikan dan berdampak pada kinerja keuangan emiten,” kata Yosua.
Selain itu, di tengah sektor properti yang belum bergairah, industri semen berharap pada proyek infrastruktur pemerintah. Namun, pengerjaan proyek-proyek ini dapat tertunda jika pemerintah tidak mendapatkan pendanaan yang memadai.
Dia pun merekomendasikan sell untuk saham emiten semen, yaitu SMGR dan INTP dengan target harga masing-masing sebesar Rp11.300 dan Rp19.300.
Di sisi lain, Analis Kresna Sekuritas Andreas Kristo Saragih memperkirakan margin EBITDA emiten semen bakal membaik dalam 2 tahun ke depan dengan harga batu bara yang stabil dan proses manufaktur yang efisien. Kompetisi antar pemain yang terjadi 3 tahun terakhir membuat pemain sektor semen memperbaiki efisiensi di segala lini bisnis.
Namun, implementasi kebijakan over dimension over load (ODOL) bakal menekan margin EBITDA sekitar 2%. Jika analis lain tidak menjadikan semen sebagai sektor favorit, Andreas justru memberikan pandangan overweight pada sektor ini dan lebih merekomendasikan INTP dengan target harga Rp25.000 dibandingkan dengan SMGR dengan target harga Rp14.000.
Direktur dan Corporate Secretary PT Indocement Tunggal Prakarsa Antonius Marcos sebelumnya menyatakan perseroan masih dalam tahap kajian untuk outlook 2020 dengan melihat kinerja pada 2 bulan terakhir. Yang jelas, perseroan mengkhawatirkan rencana penerapan ODOL tahun depan yang akan sangat berdampak pada industri semen.
Dia pun berharap pemerintah dapat bersikap bijak mengingat industri semen hingga kini masih terpuruk.