Bisnis.com, JAKARTA - Pound sterling jatuh dari level tertinggi delapan bulannya setelah sebuah jajak pendapat menunjukkan Partai Konservatif diprediksi memenangkan suara mayoritas lebih kecil daripada yang diperkirakan sebelumnya.
Berdasarkan data Bloomberg, pada perdagangan Rabu (11/12/2019) hingga pukul 13.05 WIB, pound sterling bergerak melemah 0,17% menjadi US$1,3134 per pound sterling, setelah naik ke level US$1,3215 per pound sterling pada perdagangan sebelumnya, level tertinggi sejak 27 Maret.
Kendati demikian, sepanjang tahun berjalan 2019 pound sterling berhasil bergerak menguat sebesar 3,19% terhadap dolar AS meskipun dibayangi oleh ketidakpastian keluarnya Inggris dari Benua Biru.
Pound sterling melemah setelah jajak pendapat YouGov menunjukkan partai Perdana Menteri Boris Johnson hanya mendapatkan suara tambahan sebanyak 28 dibandingkan dengan prediksi pada dua pekan lalu sebesar 68 suara.
Adapun, menurut jajak pendapat tersebut Partai Tory akan memenangkan 339 dari 650 kursi di House of Commons, sedangkan partai Labour sebanyak 231 dan Scottish National Party sebanyak 41.
Kepala Ekonomi dan Strategi Mizuho Bank Ltd di Singapura Vishnu Varathan mengatakan bahwa hasil jajak pendapat tersebut menanamkan lebih banyak ketidakpastian di pasar terkait bagaimana Brexit akan bermain setelah pemilu Inggris.
Baca Juga
Perdana Menteri Inggris Boris Johnson mengatakan bahwa dirinya membutuhkan suara mayoritas untuk partainya duduk di kursi parlemen agar dia dapat segera membuat kesepakatan Brexit menjadi hukum. Dia juga mengatakan telah mempersiapkan kemungkinan No-Deal Brexit, bila pada hasil voting parlemen kembali terjadi penolakan pada kesepakatan Brexit.
Seperti yang diketahui, pada awal Oktober, Parlemen Inggris telah menolak kesepakatan yang ditawarkan oleh Perdana Menteri Boris Johnson dan Uni Eropa untuk Brexit, bila hal ini terulang pada pengambilan voting parlemen mendatang, maka sangat mungkin Inggris akan keluar dari Zona Euro tanpa kesepakatan.
“Juga saat ini baru saja menuju FOMC, di mana The Fed mungkin terlihat lebih sabar untuk memangkas suku bunga acuannya pada akhir tahun ini, memberi insentif bagi pemegang pound sterling untuk mengunci beberapa keuntungannya,” ujar Vishnu seperti dikutip dari Bloomberg, Rabu (11/12/2019).
Proyeksi Pound Stering
Dia menilai sebagian besar pasar mata uang sudah gelisah menjelang sejumlah peristiwa berisiko dalam beberapa hari mendatang termasuk pemilihan umum Inggris yang akan dilakukan pada Kamis (12/12/2019), keputusan Federal Reserve, dan tenggat waktu untuk kenaikan tarif impor AS untuk China.
Sementara itu, Analis PT Monex Investindo Futures Faisyal mengatakan bahwa pound sterling berpeluang bergerak turun dalam jangka pendek seiring mulai munculnya keraguan pasar terhadap kemenangan mayoritas partai Konservatif menjelang pemilu Inggris.
Namun, penurunan pound sterling berpeluang terbatas dan dapat berbalik menguat jika pasar kembali mendapatkan hasil survei terbaru yang kembali menunjukkan peningkatan suara dalam partai Konservatif .
“Untuk sisi bawah nya, level support terdekat terlihat di US$1,3100 per pound sterling, menembus ke bawah dari level tersebut berpeluang memicu penurunan lanjutan ke US$1,3050 sebelum membidik support kuat di US$1,2980 per pound sterling,” ujar Faisyal dalam publikasi risetnya, Rabu (11/12/2019).
Sebaliknya, jika mata uang Negara Ratu Elizabeth tersebut bergerak naik, level resisten terdekat berada di US$1,3160 per pound sterling, menembus ke atas dari level tersebut berpotensi memicu kenaikan lanjutan ke US$1,3210 per pound sterling sebelum menargetkan resisten kuat di US$1,3280 per pound sterling.