Bisnis.com, JAKARTA - Harga karet berjangka di bursa Singapura mencatat kenaikan mingguan keenam berturut-turut dan menjadi rekor kenaikan terpanjang sejak 2015. Penguatan didorong oleh potensi gangguan pasokan yang melebihi kekhawatiran pasar menjadi overbought secara teknis.
Berdasarkan data Bloomberg, pada perdagangan Jumat (15/11/2019) hingga pukul 16.40 WIB, harga karet untuk kontrak teraktif di bursa Singapura bergerak terdepresiasi 1,51% menjadi US$137 per kilogram. Namun, sepanjang pekan ini, harga kembali mencetak penguatan dengan bergerak naik 0,5%.
Adapun, pada perdagangan Kamis (14/11), harga karet sempat naik ke level tertinggi sejak Juli di level US$140 per kilogram dan telah naik lebih dari 10% sejak awal Oktober 2019.
Momentum bullish bagi karet terlihat jelas di seluruh pasar berjangka lainnya, seperti di bursa Tokyo yang juga mencatat kenaikan untuk enam perdagangan berturut-turut serta di bursa Shanghai yang naik untuk minggu ketujuh, penguatan beruntun terbaik sejak 2017.
Manajer Senior Komoditas Phillip Futures Singapura Avtar Sandu mengatakan bahwa harga karet berjangka berhasil menguat cukup baik karena kekhawatiran pasar terhadap tekanan pasokan.
“Ada pembicaraan di pasar bahwa kemungkinan karet akan mengalami defisit di masa depan,” ujar Avtar seperti dikutip dari Bloomberg, Jumat (15/11/2019).
The International Tripartite Rubber Council atau (ITRC) memperkirakan output dari Thailand, Indonesia, dan Malaysia dapat turun sebanyak 800.000 ton tahun ini karena wabah jamur yang merusak lebih dari 400.000 hektare perkebunan karet.
Penyakit tersebut sangat mempengaruhi pasar karet dunia, mengingat produksi komoditas di tiga negara itu menyumbang sekitar 70% produksi karet alam global. Di antara ketiga negara produsen karet terbesar di dunia tersebut, Indonesia lah yang mengalami dampak paling parah dengan sekitar 382.000 hektare pohon terjangkit jamur.
Dengan demikian, jika digabungkan dengan pemangkasan ekspor yang dilakukan mulai pada April maka total pengurangan pasokan bisa mencapai 441.648 ton, lebih besar dari target sebelumnya yang hanya mencapai 240.000 ton.
Sebagai informasi, pada April lalu ITRC, termasuk Indonesia, Thailand, dan Malaysia, memutuskan untuk mengurangi ekspor karet sebanyak 240.000 metrik ton secara kolektif untuk mendukung penguatan harga karet yang terdepresiasi cukup dalam akibat perang dagang AS dan China yang melemahkan permintaan.
Selain mengekang ekspor, kelompok ini juga sepakat untuk mencoba secara signifikan meningkatkan penggunaan karet domestik di masing-masing dari tiga produsen melalui pengembangan seperti aspal karet.