Bisnis.com, JAKARTA — Kala itu, sehari seusai Pemilihan Umum pada 17 April, saham-saham emiten BUMN konstruksi dan infrastruktur atau karya semringah dengan membukukan kenaikan harga cukup bervariasi, dari 1,69% hingga 4,18%.
Harga saham PT Adhi Karya (Persero) Tbk., misalnya, begitu dibuka langsung menguat 55 poin ke level Rp1.825, Kamis (18/4/2019). Sepanjang perdagangan, saham ADHI bergerak dalam rentang Rp1.790—Rp1.845.
Adapun, pada penutupan perdagangan, harga sahamnya berada di level Rp1.800, naik 1,69% walaupun masih di bawah harga pembukaan.
Selanjutnya, saham PT Wijaya Karya (Persero) Tbk. (WIKA) juga langsung melompat 70 poin saat pembukaan, dari Rp2.330 ke Rp2.400, hingga kemudian ditutup pada harga Rp2.420 atau naik 3,86%.
Sementara itu, pergerakan PT Waskita Karya (Persero) Tbk. (WSKT) menguat 60 poin pada sesi pembukaan perdagangan ke level Rp2.170 dan ditutup pada level harga Rp2.160 atau naik 2,37%.
Adapun, PT PP (Persero) Tbk. (PTPP) menguat 60 poin ke level Rp2.450, dan kemudian ditutup pada harga Rp2.490 per saham atau naik 4,18%.
Pemicunya adalah hasil hitung cepat, di mana saat itu petahana memimpin perolehan suara. Seperti diketahui, pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla, terutama sepanjang periode 2017—2019, pembangunan infrastruktur terasa menggebu-gebu, dan tentu saja berdampak positif pada emiten BUMN karya, termasuk kinerja keuangannya.
Saham WSKT, misalnya, mampu membukukan rata-rata laju pertumbuhan majemuk tahunan (compound annual growth rate/CAGR) laba per saham (earning per share/EPS) hingga 67,66% sepanjang 2014—2018, sedangkan PTPP (29,63%), WIKA (29,50%), dan ADHI (18,74%).
Lalu apakah kemudian saham-saham BUMN karya itu sudah cukup mahal, atau malah masih murah, mengingat jika merujuk pada titik terendah saat koreksi pasar saham pada Oktober 2018, harga sahamnya sudah terkerek dalam rentang 52%--120% saat hitung cepat dimulai.
Untuk itu, tidak ada salahnya kita coba menghitung kembali valuasi saham-saham tersebut, apakah sudah keliwat mahal atau justru masih murah untuk meyakinkan bahwa kita tidak ketinggalan kereta jika saham-saham BUMN Karya memanas menjelang pelantikan Joko Widodo-Ma’ruf Amin pada Minggu (20/10/2019).
Apalagi, kita tahu bahwa saham-saham itu sudah terkoreksi cukup banyak sejak sehari setelah penghitungan cepat, kamis (18/4/2019) hingga Kamis (17/10/2019), di mana saham WSKT sudah turun -27,08%, WIKA (-21,49%), PTPP (-31,73%), dan ADHI (-30,28%).
Mahal dan murahnya harga saham memang tidak bisa sekadar dilihat dari nilai rupiah per lembarnya. Ambil contoh, saham ADHI yang ditutup seharga Rp1.800 per lembar, tidak bisa lantas dikatakan lebih murah ketimbang saham PTPP seharga Rp2.490 per lembarnya.
Ada banyak metode dalam melakukan valuasi saham atau penilaian atas harga wajar saham, seperti komparasi price to book value (PBV), price to earning ratio (PER), price/earning to growth ratio (PEG), dividend discount model (DDM) atau discounted cash flows (DCF), yang dipelopori oleh John Burr Williams, yang merupakan tokoh penting dalam analisis fundamental.
Metode DCF atau arus kas terdiskon ini kemudian diimplementasikan dengan lebih lugas oleh Charles S. Mizrahi, yang juga seorang penganut value investing.
Metode inilah yang akan dicoba diterapkan pada saham-saham BUMN karya, yaitu WSKT, WIKA, PTPP, dan ADHI. Keempatnya menjadi pilihan karena memiliki rekam jejak laporan keuangan lebih dari 5 tahun dengan pertumbuhan laba bersih 5 tahun terakhir lebih dari 10%.
Idealnya, saham yang akan divaluasi juga memiliki return on equity (ROE) sedikitnya 15% untuk menyaring saham-saham yang memang teruji kemampuan perusahaannya dalam menghasilkan laba.
Sayangnya, jika mengacu pada laporan keuangan 2018, tak banyak emiten BUMN yang memiliki ROE lebih dari 15%. Hanya ada PTBA (30,88%), BBRI (17,46%), dan TLKM (17,28%).
Pada tahap awal, kita tentukan dulu pertumbuhan EPS 5 tahun terakhir untuk menentukan proyeksi EPS pada 5 tahun ke depan.
Jika pertumbuhan CAGR EPS 5 tahun terakhir lebih besar dari 15%, maka proyeksi pertumbuhan EPS 5 tahun ke depan menggunakan angka 15%. Namun, jika pertumbuhan CAGR EPS 5 tahun terakhir lebih kecil dari 15%, maka proyeksi pertumbuhan EPS 5 tahun ke depan menggunakan angka 10%. Ini kriteria konservatif yang diterapkan oleh C. Mizrahi.
Dalam hal ini, CAGR EPS 5 tahun terakhir, dari saham WSKT, WIKA, PTPP, dan ADHI lebih besar dari 15% sehingga kita asumsikan pertumbuhan EPS 5 tahun ke depan adalah 15%.
Proyeksi EPS Emiten BUMN Karya | ||||
---|---|---|---|---|
Uraian | WSKT | WIKA | PTPP | ADHI |
Proyeksi Pertumbuhan EPS | 15% | 15% | 15% | 15% |
Akhir tahun 2019 | Rp335,10 | Rp221,09 | Rp278,59 | Rp205,77 |
Akhir tahun 2020 | Rp385,37 | Rp254,25 | Rp320,38 | Rp236,64 |
Akhir tahun 2021 | Rp443,18 | Rp292,39 | Rp368,44 | Rp272,14 |
Akhir tahun 2022 | Rp509,66 | Rp336,25 | Rp423,71 | Rp312,96 |
Akhir tahun 2023 | Rp586,11 | Rp386,69 | Rp487,27 | Rp359,90 |
Total | Rp2.259,42 | Rp1.490,67 | Rp1.878,39 | Rp1.387,41 |
Total Dividen 5 tahun* | Rp451,88 | Rp298,13 | Rp375,68 | Rp277,48 |
*dividend pay out ratio 20%
TOTAL DIVIDEN
Jika total proyeksi EPS selama 5 tahun kita kalikan dengan rata-rata rasio pembayaran dividen (dividend payout ratio) BUMN Karya yang sebesar 20%, maka diperoleh total nilai dividen yang bakal diterima oleh saham-saham BUMN karya selama 5 tahun ke depan.
Selanjutnya, guna mengetahui total proyeksi harga saham-saham BUMN Karya di tahun kelima (termasuk total dividen yang diterima selama 5 tahun), kita hitung dulu proyeksi harga saham-saham BUMN Karya pada tahun kelima (2023) dengan cara mengalikan proyeksi EPS pada tahun kelima dengan rumusan PER dari Mizrahi.
Untuk itu, kita tentukan dulu rata-rata PER saham-saham BUMN karya dalam 5 tahun terakhir (2014—2018) dengan metode Mizrahi, di mana rata-rata PER lebih dari 20 kali menggunakan proyeksi PER 17 kali, sedangkan rata-rata PER kurang dari 20 memakai proyeksi PER 12 kali.
Berdasarkan data, WSKT dan ADHI memiliki rata-rata PER 17,1 kali dan 16,61 kali sehingga kita menggunakan proyeksi PER 12 kali. Adapun, WIKA dan PTPP, masing-masing memiliki rata-rata PER 21,49 kali dan 20,40 kali, sehingga kita menggunakan proyeksi PER 17 kali.
Total Harga Saham di Tahun ke-5 | ||||
---|---|---|---|---|
Uraian | WSKT | WIKA | PTPP | ADHI |
Proyeksi PER | 12 | 17 | 17 | 12 |
Proyeksi harga saham | Rp7.033,32 | Rp6.573,73 | Rp8.283,59 | Rp4.318,80 |
Proyeksi Harga Saham (+ dividen 5 tahun) | Rp7.485,20 | Rp6.871,86 | Rp8.659,27 | Rp4.596,28 |
Langkah berikutnya adalah menentukan harga saham-saham BUMN Karya yang layak, sesuai dengan imbal hasil yang kita inginkan. Sebelumnya, kita perlu mengetahui terlebih dahulu country risk premium Indonesia saat ini.
Mengacu pada peringkat yang disematkan oleh Moody’s pada April 2018, maka Indonesia memiliki peringkat Baa2. Dengan peringkat itu, maka risk premium di Tanah Air sebesar 8,6% (http://www.stern.nyu.edu/~adamodar/pc/datasets/ctryprem.xls), sedangkan rata-rata suku bunga deposito berada pada level 6,1%.
Jumlah risk premium dan suku bunga deposito minimal 14,7% itulah yang kemudian menjadi acuan imbal hasil yang layak yang kita inginkan dari harga wajar saham-saham BUMN Karya.
Harga Wajar Saham (dengan return minimal yang layak 14,7%**) | ||||
---|---|---|---|---|
Uraian | WSKT | WIKA | PTPP | ADHI |
Tahun 2023 | Rp6.525,90 | Rp5.991,16 | Rp7.549,49 | Rp4.007,22 |
Tahun 2022 | Rp5.689,54 | Rp5.223,33 | Rp6.581,95 | Rp3.493,65 |
Tahun 2021 | Rp4.960,36 | Rp4.553,91 | Rp5.738,40 | Rp3.045,91 |
Tahun 2020 | Rp4.324,64 | Rp3.970,28 | Rp5.002,97 | Rp2.655,54 |
Tahun 2019 | Rp3.770,39 | Rp3.461,45 | Rp4.361,78 | Rp2.315,21 |
**country risk premium (8,6%) + rata-rata deposito (6,1%)
Jika melihat data di atas, harga wajar saham WSKT pada tahun ini berada di level Rp3.770, WIKA (Rp3.461), PTPP (Rp4.361), dan ADHI (Rp2.315).
Sementara itu, jika melihat harga saham-saham BUMN Karya itu pada penutupan perdagangan Kamis (17/10/2019), tercatat WSKT ditutup di level Rp1.575, WIKA (Rp1.900), PTPP (Rp1.700), dan ADHI (Rp1.255).
Terlihat bahwa saham-saham BUMN Karya masih jauh di bawah harga wajarnya alias murah. Tetapi apakah lantas, kita bisa memborong saham-saham itu?
Tentu saja ada banyak faktor yang memengaruhi keputusan berinvestasi seseorang, seperti persoalan arus kas yang membelit emiten-emiten karya yang banyak diberitakan, kondisi pasar saham yang turun naik dalam 1 tahun terakhir akibat gaduh perang dagang dan kebijakan The Fed, hingga peluang emiten-emiten karya itu dalam proyek infrastruktur pada masa pemerintahan kedua Jokowi, yang bisa jadi tak lagi segencar periode 2014—2019.
Meski demikian, setidaknya valuasi tersebut dapat menjadi salah satu patokan bagi para investor berinvestasi.