Bisnis.com, JAKARTA - Tekanan pertumbuhan ekonomi negara Eropa dan gejolak politik Italia menjadi pil pahit yang harus ditelan oleh mata uang euro sehingga bergerak negatif pada perdagangan Kamis (22/8/2019) setelah sempat berbalik positif pada perdagangan sebelumnya.
Berdasarkan data Bloomberg, hingga pukul 16.42 WIB, euro bergerak melemah 0,08% menjadi US$1,1076 per euro.
Analis PT Rifan Financindo Berjangka Sakti mengatakan bahwa dalam euro tertekan oleh pengunduran diri Perdana Menteri Italia Giuseppe Conte usai berdebat dengan Menteri Dalam Negeri Matteo Salvini.
Tidak hanya itu data ekonomi terbaru Jerman juga menunjukkan penurunan pada sektor konstruksi setelah sebelumnya menopang pertumbuhan di kuartal pertama berkat anomali musim dingin yang berlangsung hingga awal tahun ini.
PDB Jerman turun 0,1% secara kuartalan setelah mengkonfirmasi angka pertumbuhan pada kuartal pertama yakni sebesar 0,4%. Dilansir melalui Reuters, tingkat pertumbuhan tahunan Jerman melambat menjadi 0,4% pada kuartal kedua jika dibandingkan dengan capaian 0,7% pada kuartal sebelumnya.
Alih-alih melemah tajam, euro tampak kekurangan dorongan jual yang kuat sehingga pada perdagangan sebelumnya euro justru bangkit karena pemulihan sementara seiring dengan dolar AS yang terkoreksi jangka pendek.
Baca Juga
“Namun, saat ini dengan pulihnya kekuatan dolar AS setelah rilis notulen pertemuan Juli Federal Reserve atau FOMC membuat euro kembali bergerak tertekan,” ujar Sakti kepada Bisnis.com, Kamis (22/8/2019).
Notulensi FOMC
Dalam notulen pertemuan tersebut, anggota The Fed sangat terpecah untuk memutuskan pemangkasan suku bunga acuan pada bulan lalu, tetapi bersatu dalam keinginan untuk memberi sinyal tidak berada di jalur pemangkasan lebih lanjut.
Namun, pesan ini sepertinya tidak cocok dengan Presiden AS Donald Trump yang telah berulang kali mengkritik Jerome Powell karena tidak memangkas suku bunga secara lebih agresif dan membuat dolar AS semakin tinggi.
Saat ini para investor menahan untuk menempatkan pertaruhan yang agresif dan lebih memilih untuk menunggu petunjuk baru terhadap prospek lebih banyak pelonggaran oleh The Fed.
Sementara itu, pasangan EUR/USD, kata Sakti, terlihat lebih banyak untuk mengkonsolidasi kerugian sebelumnya dan tetap dibatasi dalam rentang trading yang sempit di tengah absennya data-data penggerak pasar baik dari kawasan Eropa maupun dari AS.
“Secara umum EUR/USD masih berpotensi untuk koreksi pada perdagangan selanjutnya. Rekomendasi trading untuk pasangan EUR/USD adalah sell selama harga dibawah US$1,1070 per euro dengan level resistance US$1,1101 dan level support antara US$1,1073 per euro,” papar Sakti.
Di sisi lain, Analis PT Valbury Asia Futures Rechmen Abadi mengatakan bahwa ekonomi dan politik Eropa memang jadi penekan euro belakangan ini.
“Namun, akselerasi tekanannya saat ini agak kendur karena fokus pasar tertuju ke pertemuan tahunan ekonomi Jackson Hole AS untuk mencari tahu indikasi pemangkasan suku bunga AS di FOMC September,” ujar Rechmen kepada Bisnis.
Dia menilai penguatan dolar AS yang didorong notulen FOMC Juli tidak akan bertahan lama karena banyak sentimen terjadi setelah pertemuan The Fed periode Juli tersebut sehingga tidak bisa menjadi tolok ukur.
Oleh karena itu, dia mengatakan bahwa pasar harus benar-benar menanti pidato Ketua The Fed Jerome Powell pada pertemuan tahunan tersebut dan perlu memperhatikan kisaran fluktuasi euro di antara US$1,1050 per euro hingga US$1,1025 per euro.
“Tidak mustahil dari isu AS tersebut bisa membatasi tekanan euro dan sangart memungkinkan euro jadi rebound jika break resistance di level US$1,1100 per euro,” papar Rechmen.