Bisnis.com, JAKARTA - Pasar tembaga masih dibayangi oleh sengketa perdagangan AS dan China yang masih berlanjut dan belum tampak akan segera berakhir sehingga harga diperkirakan masih berada dalam tekanan hingga akhir tahun.
Analis PT Asia Trade Point Futures Deddy Yusuf Siregar mengatakan bahwa perang dagang AS dan China yang telah berimbas terhadap buruknya kinerja sektor manufaktur China masih menjadi sentimen dominan penggerak pasar tembaga sepanjang 2019.
“Memburuknya kinerja sektor manufaktur China telah membuat permintaan tembaga ikut surut sehingga mempengaruhi harga,” ujar Deddy kepada Bisnis.com, Rabu (21/8/2019).
Sebagai informasi, impor tembaga China diproyeksi hanya mampu mencapai sekitar 24 juta ton pada tahun ini. Bahkan hingga Juli 2019, secara year on year permintaan tembaga dari China telah bergerak turun sebesar 0,8%.
Padahal, China merupakan konsumen terbesar pasar logam, yang menyerap sekitar 50% dari permintaan tembaga global.
Saat ini, ekonomi China mencatatkan laju pertumbuhan paling lambat sejak awal 1990-an dengan pertumbuhan PDB pada kuartal kedua tahun ini hanya sebesar 6,2%, sedikit lebih rendah daripada ekspansi pada kuartal sebelumnya di level 6,4%.
Baca Juga
Untuk memicu pertumbuhan yang lebih baik, belum lama ini Bank Sentral China mengeluarkan stimulus berupa reformasi suku bunga yang dirancang untuk mengarahkan biaya pinjaman yang lebih rendah bagi pelaku usaha.
Reformasi suku bunga China juga memicu harapan Bank Sentral China dapat menurunkan suku bunga acuannya sehingga dapat mendorong pemulihan harga singkat pada logam dasar di tengah kekhawatiran pasar terhadap lemahnya permintaan.
Deddy menilai kebijakan tersebut stimulus yang baik dan kemungkinan dapat merangsang pertumbuhan dan memompa kinerja ekonomi China.
“Namun, kita tunggu saja apakah kebijakan ini dapat merangsang aktivitas manufaktur yang pada akhirmya mendorong permintaan tembaga,” papar Deddy.
Defisit Tembaga
Sementara itu, berdasarkan data International Copper Study Group, pasar penyulingan tembaga global mengalami defisit yang lebih kecil pada Mei 2019 sebesar 62.000 ton dibandingkan dengan defisit April 2019 sebesar 124.000 ton.
Dia memprediksi pada akhir tahun ini, tembaga di bursa London akan bergerak di kisaran US$5.600 per ton hingga US$5.790 per ton.
Di sisi lain, pada perdagangan Rabu (21/8/2019) pukul 14.37 WIB, harga tembaga di bursa London berhasil menguat 0,35% menjadi US$5.736 per ton, setelah pada penutupan perdagangan sebelumnya terkoreksi sebesar 1,09%.
Penguatan tembaga ditopang oleh jatuhnya dolar AS dari level puncaknya karena investor menanti risalah pertemuan The Fed periode Juli yang akan dirilis Rabu (21/8/2019) waktu setempat.
Dolar AS yang lebih lemah akan membuat logam berdenominasi dolar AS menjadi lebih murah bagi pembeli dengan mata uang lainnya sehingga dapat mendukung harga.
Adapun, indeks dolar AS yang mengukur kekuatan greenback di hadapan sekeranjang mata uang mayor bergerak stabil di level 98,264.