Bisnis.com, JAKARTA – Bursa Eropa berhasil membukukan performa terbaiknya dalam hampir dua bulan pada akhir perdagangan Kamis (8/8/2019), didorong data perdagangan dari China dan stabilnya nilai tukar mata uang yuan yang membantu meredakan kekhawatiran pasar.
Berdasarkan data Reuters, indeks Stoxx 600 ditutup naik tajam 1,7 persen, kenaikan hari kedua berturut-turut. Rata-rata bursa saham global menguat dan bangkit dari tekanan yang dialami baru-baru ini akibat eskalasi tensi perdagangan Amerika Serikat-China.
Seluruh indeks utama di Eropa naik lebih dari 1 persen, meskipun penurunan dalam perdagangan saham ex-dividen menutupi kenaikan di bursa FTSE London.
Data ekspor China pada Juli menunjukkan peningkatan dengan laju tercepat sejak Maret, sementara penurunan impor tidak seburuk perkiraan. Fakta ini meredakan kekhawatiran bahwa perang dagang yang berlarut-larut dan meluas akan mendorong dunia ke dalam resesi.
Ekspor China meningkat 3,3 persen pada Juli dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, kenaikan terbesar sejak Maret 2019.
Sementara itu, nilai impor turun 5,6 persen pada periode yang sama. Dengan ini, neraca perdagangan tercatat surplus sebesar US$45,1 miliar.
Baca Juga
Capaian ekspor ini jauh melampaui estimasi sejumlah analis yang memperkirakan penurunan sebesar 1 persen, sebentara impor sebelumnya diperkirakan turun hingga 9 persen.
Seluruh sektor pada Stoxx berakhir di zona hijau, dipimpin indeks sumber daya dasar dan teknologi yang sensitif terhadap isu-isu perdagangan.
Adapun sektor bahan baku ditutup 2,5 persen lebih tinggi, mengakhiri penurunan beruntun 11 sesi perdagangan sebesar hampir 16 persen.
Nilai tukar yuan kembali pulih terhadap dolar AS, meskipun bank sentral China menetapkan titik tengah resmi di bawah level tujuh yuan terhadap dolar AS, untuk pertama kalinya sejak krisis keuangan global.
“Nilai tengah hari ini adalah pesan bahwa People's Bank of China tidak memiliki garis definitif tetapi hanya memungkinkan yuan melemah dengan laju yang wajar untuk mengurangi kemungkinan arus keluar,” papar Stephen Innes, managing partner di VM Markets.
"Jadi, rasa kekhawatiran akan depresiasi yang cepat telah memudar,” tambahnya, seperti dikutip dari Reuters.
Namun, lanjut Innes, seiring dengan mendekatnya 1 September, tanggal yang ditetapkan pemerintah AS untuk memberlakukan tarif 10 persen pada sisa impor China senilai US$300 miliar, pedagang tetap berhati-hati pada kemungkinan bahwa PBOC dapat terus menurunkan nilai referensinya lebih rendah.
Bank sentral China itu telah membiarkan nilai tukar yuan terhadap dolar AS merosot ke level terendahnya dalam lebih dari satu dekade awal pekan ini.
Hal tersebut menyulut kekhawatiran bahwa Tiongkok akan menggunakan mata uangnya sebagai senjata baru dalam perselisihan dagangnya dengan Amerika Serikat.
Ketidakpastian ini pun mendorong investor memburu obligasi dan emas serta mendorong bank sentral di seluruh dunia untuk mengambil tindakan dengan melonggarkan kebijakan moneter mereka.