Bisnis.com, JAKARTA—Investor disarankan mengambil posisi defensif dengan mengakumulasikan aset-aset yang aman dari volatilitas dan rendah risiko selama eskalasi perang dagang AS—China berlangsung.
Pasalnya, perang dagang AS—China yang berkecamuk lagi pada awal bulan ini telah membuat posisi pasar saham rentan tertekan.
Budi Hikmat, Direktur Strategi Investasi dan Kepala Makroekonomi Bahana TCW Investment Management, menyarankan supaya investor mengambil sikap defensif dalam menyikapi memburuknya perseteruan AS dan China.
“Sebaiknya berinvestasi pada aset-aset yang lebih aman dari volatilitas dan rendah risiko. Selain reksa dana pasar uang, SBN dapat menjadi pilihan sebab pokoknya aman, cuan nyaman, dan likuiditas lancar,” kata Budi Hikmat dalam keterangan tertulis, Rabu (7/8/2019).
Dirinya menilai risiko pelemahan dan peningkatan volatilitas nilai tukar rupiah akibat kondisi perang dagang, bisa menurunkan keleluasaan BI untuk memangkas suku bunga dalam rangka memacu pertumbuhan ekonomi tanpa memicu defisit neraca berjalan.
Adapun pada awal pekan ini, seluruh pasar keuangan global terguncang lagi akibat kembalinya sentimen perang dagang antara dua ekonomi terbesar di dunia.
Baca Juga
Hal itu mengakibatkan koreksi IHSG selama dua hari berturut-turut, yaitu sebesar 2,59% dan 0,91% hingga ke level 6.119 pada Selasa (6/8/2019).
Kurs tengah Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Rupiah juga ikut melemah hampir 1% menjadi Rp14.344 pada Selasa (6/8/2019), dari Rp14.203 pada akhir pekan lalu.
Sementara itu, imbal hasil obligasi pemerintah bertenor 10 tahun sempat naik ke level 7,7291%.
Lebih lanjut, perang dagang AS—China kini telah bergeser menjadi perang mata uang setelah mata uang yuan China melemah drastis.
Budi menilai keputusan China melemahkan mata uangnya sebenarnya beralasan, mengingat surplus neraca berjalan Negeri Panda yang terus menipis.
Namun demikian, langkah tersebut terbilang sangat cepat yaitu bersamaan dengan penundaan pembelian komoditas pertanian dari Amerika Serikat.
Aksi China tersebut pun jelas merupakan balasan pernyataan Presiden AS Donald Trump yang mengancam akan kembali mengenakan tarif impor mulai bulan September.
Pelemahan drastis yuan pun dikhawatirkan memicu perlombaan negara-negara di kawasan Asian untuk memperlemah mata uang dengan sengaja atau competitive devaluation.
“Aksi bank sentral China itu jelas mempersulit upaya Indonesia menurunkan defisit neraca perdagangan dengan China yang terus memburuk sejak 2012,” kata Budi.
Sepanjang tahun lalu, Budi menambahkan, defisit perdagangan Indonesia dengan China mencapai US$18,4 miliar atau melonjak 44,8% dibandingkan dengan pada tahun sebelumnya.