Bisnis.com, JAKARTA—Kondisi eksternal dan internal cenderung tak pasti dengan meningkatnya tensi perang dagang China-AS dan rilis data pertumbuhan ekonomi kuartal II/2019 yang melambat dibandingkan tahun sebelumnya.
Direktur & Chief Investment Officer Fixed Income Manulife Aset Manajemen Indonesia Ezra Nazula mengatakan pelemahan yang terjadi saat ini berlangsung sementara. Alasannya, penguatan dolar AS terhadap mata uang lain termasuk rupiah hanya respons sesaat bukan merupakan faktor fundamental.
Seperti diketahui, naiknya tensi perang dagang China-AS dan pertumbuhan ekonomi RI yang melambat pada kuartal II/2019 meningkatkan ketidakpastian bagi investor. Perang dagang China-AS memanas setelah Presiden AS Donald Trump menyatakan akan mengenakan tarif 10% terhadap produk China.
Pernyataan tersebut dibalas China dengan melemahkan nilai tukar yuan di level 7 yuan per dolar AS. Padahal Trump baru akan menerapkan kebijakan tarif baru pada September setelah China urung melakukan pembelian produk pertanian.
Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi RI pada kuartal II/2019 melambat yakni sebesar 5,05% atau lebih rendah dari realisasi pada periode yang sama tahun lalu yakni 5,27%.
Baca Juga
Sumber: www.asianbondonline.com
Pada penutupan pasar, Selasa (6/8/2019), rupiah ditutup melemah 0,15% ke Rp14.276 per dolar AS. Pelemahan pun tetap terjadi meskipun Bank Indonesia melakukan intervensi di pasar valas dan oblogasi negara melalui pasar DNDF (domestic non-deliverable forwards)
“Penguatan dolar AS vs mata uang lain di dunia termasuk Indonesia karena risk off sentimen yang terjadi bukan karena fundamental domestik,” ujarnya saat dihubungi Bisnis.com, Selasa (6/8/2019).
Menurutnya, setelah gejolak mereda, investor bakal mengkaji aspek fundamental dan obligasi RI kembali mendapat daya tarik karena menawarkan imbal hasil sebesar 7,6% pada SUN tenor 10 tahun. Sementara itu, Tresuri AS dengan tenor yang sama justru menawarkan imbal hasil sebesar 1,75%.
Perbedaan yang cukup lebar ini, ujar Ezra, bakal menjadi titik balik investor ke pasar obligasi RI. Dengan catatan, kondisi ini bisa terjadi ketika nilai mata uang kembali stabil.
“Obligasi Indonesia memiliki daya tarik besar dengan imbal hasil 10 tahun dibandingkan dengan 10 tahun Tresuri AS di level 1,75%. Jadi perbedaan yang sangat lebar akan sangat menarik untuk investor kembali masuk,” katanya.
Rekomendasi Obligasi
Dia merekomendasikan agar obligasi tenor menengah dan panjang menjadi perhatian investor. Mengingat, obligasi tenor panjang memiliki selisih yang lebar sehingga menarik untuk dicermati di tengah kondisi pasar saat ini.
“Kami melihat obligasi menengah panjang memiliki value yang menarik dengan spread imbal hasil yang lebar dengan contoh imbal hasil 15 tahun telah mendekati 8% dan tenor panjang 20 tahun ke atas sudah 8%-an,” kata Ezra.
Senada, Kepala Riset Fixed Income Mandiri Sekuritas Handy Yunianto menilai secara umum, pasar obligasi RI masih tergolong cerah karena valuasi yang menarik dibandingkan dengan negara lainnya kendati saat ini pasar cenderung lesu.
Menurutnya, dalam kondisi saat ini, SUN seri baru yang memiliki tenor 11 tahun menarik untuk dicermati. Alasannya, pada tahun depan, seri tersebut bisa menjadi seri acuan. Dengan demikian, investor memiliki peluang lebih awal untuk membeli SUN seri ini sebelum seri tersebut menjadi seri acuan.
“Kemungkinan besar investor yang mau benchmark index akan memburu seri ini,” katanya.
Associate Director Fixed Income Anugerah Sekuritas Indonesia, Ramdhan Ario Maruto mengatakan selain data-data indikator ekonomi AS dan Indonesia, perang dagang China-AS menjadi faktor ketidakpastian yang membayangi optimisme pelaku pasar.
Pada kondisi seperti ini, dia merekomendasikan SUN tenor 10 tahun hingga 15 tahun. Menurutnya, SUN tenor panjang seperti ini menjadi SUN paling likuid sehingga mudah diperjualbelikan di pasar sekunder.
“Perang dagang dan The Fed ini susah ditebak. Saya masih [rekomendasikan] yang tenor 10 tahun, 15 tahun karena paling likuid seri itu dibandingkan dengan seri lain,” katanya.