Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rupiah Melemah Disengat Listrik dan Perlambatan Ekonomi

Berdasarkan data Bloomberg, mata uang garuda tersebut ditutup melemah 0,49% atau 0,70 poin ke posisi Rp14.255 per dolar AS pada perdagangan Senin (5/8/2019).
Karyawan menata uang rupiah di Cash Center Bank BNI di Jakarta, Rabu (10/7/2019)./Bisnis-Abdullah Azzam
Karyawan menata uang rupiah di Cash Center Bank BNI di Jakarta, Rabu (10/7/2019)./Bisnis-Abdullah Azzam

Bisnis.com, JAKARTA – Rupiah tak berdaya di hadapan dolar Amerika Serikat pada perdagangan Senin (5/8/2019). Esok hari pun, rupiah diperkirakan masih akan tertekan.

Berdasarkan data Bloomberg, mata uang garuda tersebut ditutup melemah 0,49% atau 0,70 poin ke posisi Rp14.255 per dolar AS. Berbekal hasil tersebut, rupiah melanjutkan penurunan pada sesi pembukaan sebesar 0,02% atau 0,3 poin ke posisi Rp14.188, dari level Rp14.185 pada perdagangan pekan lalu.

Pelemahan rupiah tersebut diperkirakan karena ketidakpuasan pasar terhadap pertumbuhan ekonomi domestik. Seperti diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan perekonomian hanya tumbuh sebesar 5,05% secara tahunan (year-on-year/YoY) pada kuartal II/2019. Capaian tersebut sesuai ekspektasi pasar.

“Walaupun sesuai ekspektasi, pertumbuhan ekonomi pada tiga bulan kedua 2019 melambat jika dibandingkan capaian pada kuartal I-2019 yang sebesar 5,07%,” kata Direktur Utama PT Garuda Berjangka Ibrahim dalam keterangan tertulis, Senin (5/8/2019).

Padahal, sambungnya, pada 3 bulan kedua tahun ini terdapat gelaran pemilihan umum (Pemilu) dan kehadiran Ramadan, sehingga diharapkan bisa mendongkrak konsumsi masyarakat Indonesia, sekaligus mendongkrak pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.

Sebagai informasi, lebih dari 50% perekonomian Indonesia disumbang oleh konsumsi rumah tangga.

Di samping itu, pasar juga kecewa terhadap pemadaman listrik pada Minggu (4/8/2019). Ibrahim mengatakan, gangguan listrik tersebut cukup serius sehingga membuat pasokan listrik ke Jawa dan Bali terganggu. Akhirnya terjadi pemadaman, salah satunya di DKI Jakarta. Mulai Minggu selama 12 jam, hingga Senin (5/8/2019), sebagian wilayah masih terjadi pemadaman secara bergilir.

Menurut Ibrahim, jika pemadaman listrik berlanjut hingga tiga hari ke depan, kerugian ekonomi ditaksir bisa mencapai triliunan rupiah. Hal ini karena hampir lebih dari 70% uang beredar di Indonesia terjadi di DKI Jakarta.

“Sehingga pelaku pasar tidak lagi percaya terhadap pemerintah, arus modal keluar cukup besar mengakibatkan rupiah kembali tertekan,” ujarnya.

Dia menambahkan, dalam transaksi hari ini rupiah ditutup melemah. Sementara itu, dalam transaksi besok, rupiah diestimasi masih akan tertekan di level Rp14.230-Rp14.280 per dolar AS.

Dari eksternal, tekanan rupiah datang dari perang dagang Amerika Serikat – China dan Brexit. Ibrahim mengatakan, Presiden AS Donald Trump telah mengumumkan bahwa negaranya akan mengenakan bea masuk baru senilai 10% bagi produk impor asal China senilai US$300 miliar, yang hingga kini belum terdampak perang dagang.

“Kebijakan ini akan mulai berlaku pada tanggal 1 September. Kacaunya lagi, Trump menyebut bahwa bea masuk baru tersebut bisa dinaikkan hingga menjadi di atas 25%,” katamya.

Perlu diketahui, dalam akun Twitter-nya, Trump menegaskan hal tersebut. "AS akan mulai, pada tanggal 1 September, mengenakan bea masuk tambahan dengan besaran yang kecil yakni 10% terhadap sisa produk impor asal China senilai US$ 300 miliar yang masuk ke negara kita,” cuit Trump melalui akun @realDonaldTrump.

Tak tinggal diam, Beijing juga berjanji pada pekan lalu untuk melawan kembali keputusan tiba-tiba Presiden AS Donald Trump tersebut. Sebuah langkah yang mengakhiri gencatan senjata perdagangan selama sebulan.

Sementara itu, di tanah Britania, Pemerintahan Perdana Menteri Boris Johnson sudah menyiapkan anggaran 2,1 miliar pound sterling untuk berjaga-jaga jika terjadi No Deal Brexit.

Anggaran tersebut akan digunakan untuk memfasilitasi dunia usaha, mempermudah arus keluar-masuk barang di pabean, sampai menjaga pasokan obat-obatan di dalam negeri.

“Tersisa 88 hari, Inggris akan meninggalkan Uni Eropa, sehingga sangat penting untuk memastikan bahwa mereka siap. Mereka ingin mendapatkan kesepakatan yang baik dengan Uni Eropa, tetapi kalau tidak bisa maka mereka akan pergi tanpa kesepakatan,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Dika Irawan
Editor : Ana Noviani
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper