Bisnis.com, JAKARTA – Aksi jual saham besar-besaran menekan bursa Asia pada perdagangan siang ini, Senin (5/8/2019), sekaligus menyeret bursa Eropa bersama indeks futures Amerika Serikat (AS) akibat meningkatnya kekhawatiran tentang perang perdagangan AS-China.
Berdasarkan data Bloomberg, indeks Stoxx Europe 600 dan indeks futures S&P 500 sama-sama meluncur 0,9 persen pada pukul 08.16 pagi waktu London (pukul 14.16 WIB).
Adapun indeks MSCI Asia Pacific merosot 1,9 persen, penurunan terbesarnya dalam 19 pekan, indeks MSCI Emerging Market melemah 1,8 persen dan indeks Hang Seng Hong Kong anjlok 2,7 persen.
Pekan lalu, Trump mengatakan akan mengenakan tarif 10 persen pada sisa impor China senilai US$300 miliar mulai 1 September. Trump bahkan menambahkan dapat menaikkan tarif lebih lanjut jika Presiden China Xi Jinping gagal bergerak lebih cepat menuju kesepakatan perdagangan.
Di sisi lain, China menegaskan tidak gentar dan akan melakukan tindak balasan jika pemerintah ASmenetapkan lebih banyak tarif untuk barang-barang asal China.
Mata uang yuan China jatuh melampaui level 7 yuan per dolar AS untuk pertama kalinya sejak 2008 di tengah spekulasi bahwa pemerintahan Presiden Xi Jinping tidak menahan depresiasi lebih lanjut untuk melawan ancaman tarif terbaru Presiden Donald Trump.
Baca Juga
Nilai tukar yuan anjlok terhadap dolar AS setelah Bank Sentral China, People’s Bank of China (PBoC) menetapkan nilai referensi harian lebih rendah dari 6,9 untuk pertama kalinya sejak Desember.
Sementara itu, bursa saham di Hong Kong turun tajam saat eskalasi kerusuhan di jalan-jalan perkotaan menambah pergolakan pasar.
Pasar saham bahkan turun lebih rendah setelah Bloomberg melaporkan bahwa China telah meminta pembeli di negaranya untuk menghentikan impor produk pertanian Amerika.
Seiring dengan tergerusnya performa aset-aset berisiko hari ini, investor memburu aset-aset safe haven. Harga emas menguat dan imbal hasil obligasi Treasury bertenor 10 tahun turun ke level terendahnya sejak Oktober 2016.
“Pasar membutuhkan pemutus arus [penurunan], seperti langkah Federal Reserve yang lebih agresif atau dimulainya kembali perundingan AS-China,” terang Jonathan Cavenagh, kepala strategi pertukaran mata uang asing untuk pasar negara berkembang Asia di JPMorgan Chase & Co., seperti dilansir dari Bloomberg.
“Jika Anda melihat cukup kelemahan dalam pasar ekuitas AS, jika Anda melihat momentum penurunan dalam data ekonomi, maka kedua belah pihak dapat kembali ke meja negosiasi pada tahap tertentu. Tapi saya pikir itu tidak akan terjadi setidaknya dalam waktu dekat,” lanjutnya.
Bursa saham China sendiri membukukan penurunan yang lebih moderat ketimbang bursa lain di kawasan itu, di tengah spekulasi bahwa para pembuat kebijakan dapat meningkatkan stimulus dari meningkatnya perang perdagangan meningkat.
Perhatian pasar selanjutnya tertuju pada reaksi apapun oleh Presiden Donald Trump terhadap pemberitaan mengenai nilai tukar mata uang China.
Di masa lampau, Trump mengkritik China karena memanipulasi mata uangnya untuk keuntungan ekspor yang kompetitif. Wall Street juga berspekulasi tentang potensi bagi pemerintahan Trump untuk melakukan intervensi membatasi kenaikan dolar AS.