Bisnis.com, JAKARTA -- Sentimen di pasar minyak telah berubah secara signifikan dalam beberapa hari terakhir. Para pengelola investasi, produsen, dan trader telah mengambil taktik yang lebih bearish dalam menanggapi prospek lemahnya permintaan di seluruh dunia.
Pasar minyak telah berjuang untuk mempertahankan reli, kendati ada pembatasan pasokan yang umumnya akan dianggap bullish. Sanksi AS terhadap Venezuela dan Iran telah menghapus lebih dari 1,5 juta barel pasokan harian dari pasar, sedangkan OPEC memperpanjang kesepakatan pemotongan pasokan hingga 2020 dan ketegangan AS-Iran meningkat.
Namun, seperti dilansir dari Reuters, Senin (22/7/2019), minyak Brent berjangka telah berjuang untuk mempertahankan pergerakan di atas US$65 per barel, sebelum merosot sekitar 7 persen pada pekan lalu. Sementara itu, minyak berjangka West Texas Intermediate jarang bergerak di atas US$60 per barel.
Janelle Matharoo dari InsideOut Advisors, konsultan perdagangan komoditas, mengatakan meski semua berita tersebut bullish, tetapi harga minyak cenderung datar dan hampir tidak berubah
"Lima belas tahun yang lalu, berita semacam ini akan mengubah harga [minyak] US$20 dan US$30 per barel," ujarnya.
Sejumlah pengelola investasi dan investor dikabarkan telah keluar dari taruhan bullish terhadap realisasi bahwa permintaan mungkin lebih lemah ketimbang yang diantisipasi, terutama saat produksi minyak AS melonjak.
Bahkan, ketegangan yang meningkat di Selat Hormuz, saat AS dan yang lainnya bergerak untuk melindungi tanker melawan Iran, hanya menghasilkan sedikit keuntungan bagi harga emas hitam ini.
Pada Jumat (19/7), berita bahwa Iran telah merebut sebuah kapal tanker Inggris mendukung harga, tetapi harga berjangka naik kurang dari 1 persen.
Meski demikian, peningkatan yang stabil dalam produksi dan permintaan minyak AS dari perang perdagangan China-AS yang berlarut-larut, bagaimanapun telah membebani perkiraan permintaan.
Baru-baru ini, Badan Energi Internasional (International Energy Agency/IEA) memangkas ekspektasi mereka untuk permintaan global hingga 2019 dan 2020. Mereka menyatakan akan memangkasnya lagi jika ekonomi global, terutama China, menunjukkan kelemahan lebih lanjut.
Di sisi lain, ekspor Arab Saudi turun ke level terendah dalam 1-1,2 tahun terakhir pada Mei 2019.
Baca Juga
Kelemahan harga menghadirkan tantangan bagi produsen minyak dan banyak yang sudah mulai melakukan lindung nilai untuk berlindung dari penurunan harga yang merusak di masa depan.