Bisnis.com, JAKARTA - Tembaga ditutup melemah pada perdagangan akhir pekan lalu, Jumat (5/7), dan mencatat penurunan mingguan terbesar sejak Mei lalu seiring dengan penguatan dolar AS dan meningkatnya persediaan stok di London Metal Exchange.
Berdasarkan data Bloomberg, pada penutupan perdagangan Jumat (5/7/2019) tembaga berada di level US$5.902 per ton, melemah 0,3% dan turun sebesar 1,6% sepanjang pekan ini.
Analis Commerzbank Daniel Briesemann mengatakan bahwa menguatnya mata uang AS terhadap sekeranjang mata uang mayor utama membuat komoditas berdenominasi dolar AS seperti tembaga menjadi lebih mahal bagi pemegang mata uang lainnya.
"Dolar yang lebih kuat telah membebani ruang gerak harga sebagian besar komoditas," ujar Daniel seperti dikutip dari Reuters, Minggu (7/7/2019).
Tercatat, indeks dolar AS yang mengukur kekuatan greenback di hadapan sekeranjang mata uang mayor lainnya bergerak menguat 0,54% menjadi 97,286.
Daniel menambahkan bahwa penurunan mingguan terbesar pada tembaga diakibatkan oleh pasar yang mencari kepastian dari perang dagang AS dan China, meski kedua negara tersebut telah sepakat untuk melanjutkan negosiasi perdagangan pada akhir bulan lalu.
Sengketa perdagangan antara dua negara dengan ekonomi terbesar di dunia tersebut telah terjadi sepanjang tahun sehingga mengguncang pasar keuangan dan mengurangi permintaan terhadap logam.
Selain itu, pada penutupan perdagangan pekan lalu, berdasarkan data LME menunjukkan persediaan utama tembaga di gudang LME naik 31.450 ton menjadi 302.975 ton, tertinggi dalam setahun sehingga mengikis proyeksi adanya defisit pasokan pada tahun ini.
Analis Argonaut Securities Helen Lau mengatakan bahwa pihaknya berharap dalam jangka pendek tembaga dapat terus diperdagangkan dalam kisaran harga yang ketat seperti saat ini, sembari berjuang dengan prospek permintaan yang melemah.
"Meningkatnya persediaan di LME mencerminkan permintaan tembaga masih belum pulih," ujar Helen seperti dikutip dari risetnya, Minggu (7/7/2019).