Bisnis.com, JAKARTA— Sejumlah emiten produsen memproyeksikan pasar batu bara masih menantang sampai dengan akhir 2019 sejalan dengan sentimen negatif yang masih membayangi komoditas emas hitam.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah mengumumkan harga batu bara acuan (HBA) senilai US$71,92 per ton untuk periode Juli 2019. Posisi itu turun 11,73% dibandingkan dengan US$81,48 per ton pada Juni 2019.
Berdasarkan pemberitan Bisnis, HBA terus merosot sejak September 2018. Terakhir, terjadi kenaikan secara bulanan pada Agustus 2018 ketika menyentuh level US$107,83 per ton.
Seperti diketahui, HBA terbentuk dari empat indeks yakni Indonesia Coal Index (ICI), Newcastle Export Index (NEX), Global Coal Newcastle Index (GCNC), dan Platts 5900 dengan bobot masing-masing 25%.
Head of Corporate Communication Division PT Adaro Energy Tbk. Febriati Nadira mengatakan masih banyak tantangan di pasar batu bara pada semester II/2019. Kendati demikian, perseroan tetap optimistis untuk mencapai target sesuai panduan dan fokus memenuhi kontrak dengan semua pelanggan.
“Melihat tren harga saat ini dan harga batu bara yang tidak dapat diprediksi, Adaro akan terus menjalankan keunggulan operasional di seluruh rantai bisnis agar menghasilkan kinerja operasional yang solid dan menyakinkan kegiatan operasional dapat berjalan dengan baik dan aman,” jelasnya kepada Bisnis, Kamis (4/7/2019).
Sebelumnya, Emiten berkode saham ADRO itu menyebut akan mempertahankan produksi batu bara di level 54 juta ton hingga 56 juta ton dalam 15—20 tahun ke depan. Kisaran tersebut juga sekaligus menjadi panduan target produksi perseroan tahun ini.
Sampai kuartal I/2019, ADRO merealisasikan penjualan 13,31 juta ton. Pencapaian itu naik 22% secara tahunan.
Di sisi lain, Presiden Direktur PT Golden Energy Mines Tbk. Bonifasius menjelaskan bahwa harga batu bara cenderung mengalami penurunan pada kuartal II/2019.
“Berdasarkan hasil diskusi dengan para pelaku bisnis batu bara di Coaltrans Bali mereka pesimistis dengan peningkatan harga jual batu bara tahun ini karena adanya perang dagang antara China dan Amerika Serikat," paparnya.
Bonifasius menjelaskan bahwa target produksi perseroan tahun ini sekitar 23 juta ton. Sementara itu, penjualan ditargetkan sekitar 25 juta ton.
Pada akhir Juni 2019, lanjutnya, emiten berkode saham GEMS itu berencana menyampaikan permohonan penambahan rencana kerja anggaran dan biaya (RKAB) produksi dan diharapkan dapat mencapai sekitar 28 juta ton