Bisnis.com, JAKARTA — Pembaruan regulasi dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengenai aturan penambahan modal perusahaan terbuka dengan memberikan hak memesan efek terlebih dahulu (HMETD) atau rights issue mendapat dukungan dari berbagai pihak.
Pasalnya, aturan tersebut kian menunjukkan bahwa regulator sangat peduli dengan kepentingan investor ritel yang turut menyumbangkan modal untuk perusahaan tercatat di Bursa Efek Indonesia.
Adapun perubahan tersebut tertuang dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan RI Nomor 14/POJK.04/2019 tentang Perubahan atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 32/POJK.04/2015 tentang Penambahan Modal Perusahaan Terbuka Dengan Memberikan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu.
Dalam bagian penjelasan atas beleid tersebut, OJK mengungkapkan pentingnya untuk menyempurnakan aturan mengenai ketentuan penyelenggaraan RUPS, khususnya RUPS rencana rights issue perusahaan terbuka dengan tujuan selain untuk memperbaiki posisi keuangan.
Mengutip aturan tersebut, perusahaan terbuka yang ingin melakukan rights issue kini wajib mengadakan RUPS dengan ketentuan harus dihadiri lebih dari setengah pemilik saham independen, yaitu pemegang saham yang bukan pihak terafiliasi dengan perseroan, direksi, komisaris, pemegang saham utama, maupun pengendali.
Kemudian, keputusan RUPS akan sah apabila disetujui oleh kuorum yang terdiri dari setengah bagian lebih jumlah seluruh saham yang dimiliki pemegang saham independen.
Baca Juga
Apabila tidak mencapai kuorum tersebut, emiten harus melangsungkan RUPS kedua hingga ketentuan di atas terpenuhi. Adapun penambahan modal untuk memperbaiki posisi keuangan perseroan yang dimaksud harus pula memenuhi beberapa persyaratan.
Pertama, perusahaan terbuka yang ingin rights issue merupakan bank yang menerima pinjaman dari Bank Indonesia atau lembaga pemerintah lain yang jumlahnya lebih dari 100% dari modal modal disetor atau kondisi lain yang mengakibatkan restrukturisasi bank oleh instansi pemerintah.
Kedua, untuk perusahaan terbuka selain bank haruslah perusahaan yang memiliki modal kerja bersih negatif dan mempunyai liabilitas lebih dari 80%.
Ketiga, perusahaan terbuka yang tak mampu memenuhi kewajiban keuangan saat jatuh tempo kepada pemberi pinjaman. Selanjutnya, penambahan modal yang dapat dilakukan adalah paling banyak 10% dari jumlah saham yang telah ditempatkan dan disetor penuh
Direktur Penilaian Perusahaan PT Bursa Efek Indonesia (BEI) I Gede Nyoman Yetna menyampaikan, aturan tersebut menunjukkan bahwa emiten harus benar-benar mengikutsertakan publik selaku pemegang saham dalam hal pengambilan keputusan.
“Dari sisi pengambilan keputusan, harus dilihat bagaimana publik itu diikutsertakan. Sehingga interest dari pemegang saham juga terakomodasi pada saat pengambilan keputusan,” kata Nyoman di Jakarta, Senin (13/5/2019).
Dirinya melanjutkan, emiten juga harus mampu menerima konsekuensi terkait tanggung jawab dari setiap pengambilan keputusan apabila kepemilikan publik terhadap saham perusahaan meningkat nantinya.
Adapun, saat ini Bursa Efek Indonesia menetapkan ketentuan minimal saham publik atau free float sebesar 7,5% dalam rangka menjaga likuiditas.
“Ketika sudah terikat dengan publik, perusahaan itu harus memperhatikan kepentingan dari pihak yang diajak bekerjasama yaitu masyarakat. Ini kan membangun aliansi dengan publik—semakin besar porsinya, kekuatannya semakin tinggi,” imbuh Nyoman.