Bisnis.com, JAKARTA -- Laju pergerakan rupiah dinilai kebal dari sentimen politik dalam negeri menjelang Pemilu 2019, yang akan berlangsung pada 17 April 2019.
Bagaimana tidak, tinggal hitungan jari menuju Pemilu, mayoritas analis masih cukup percaya diri pergerakan rupiah tidak akan terpengaruh signifikan oleh pelaksanaan pesta demokrasi.
Jika berkaca pada pergerakan rupiah pada dua Pemilihan Presiden (Pilpres) sebelumnya, rupiah cenderung menguat sepanjang pekan saat pesta demokrasi tersebut diselenggarakan.
Pada 2009, pemilu diselenggarakan pada 8 Juli 2009 dan sepanjang pekan tersebut rupiah berhasil menguat 0,83%. Sementara itu, selama Juli 2009, rupiah berhasil menguat 2,89% dan diperdagangkan di level Rp9.928 per dolar AS dan Rp10.293 per dolar AS.
Periode selanjutnya, Pemilu diselenggarakan pada 9 Juli 2014 dan rupiah masih tetap mencetak kinerja positif, yaitu menguat 1,07% sepanjang pekan. Sepanjang Juli 2014, rupiah juga menguat 2,39% di level Rp11.508 per dolar AS hingga Rp11.918 per dolar AS.
Kepala Riset dan Edukasi PT Monex Investindo Futures Ariston Tjendra mengatakan bahwa Indonesia telah beberapa kali melalui Pemilu dan setiap kali berhasil berjalan dengan lancar. Oleh karena itu, pasar juga berharap Pemilu kali ini berlangsung lancar sehingga kemungkinan bakal berimbas tipis terhadap pergerakan rupiah.
"Sejauh ini, yang saya lihat pengaruh Pemilu sangat minim terhadap rupiah, pergerakan juga sepertinya tidak akan terpengaruh oleh siapa yang akan menang," ujarnya kepada Bisnis, Senin (15/4/2019).
Sepanjang pekan ini, Ariston menilai rupiah lebih banyak dipengaruhi oleh isu eksternal dibandingkan dengan sentimen politik. Data ekonomi China yang menunjukkan surplus pada neraca perdagangan menjadi katalis positif rupiah.
Data ekspor China berhasil tumbuh 14,2% secara year-on-year (yoy) pada Maret 2019, jauh di atas ekspektasi pasar. Selain itu, data industrial Production Index China pada Februari hanya turun 0,3% secara yoy atau lebih rendah dibandingkan dengan Januari yang turun hingga 0,7% secara yoy.
Di sisi lain, hasil notulensi rapat The Fed edisi Maret 2019 menunjukkan kehati-hatian bank sentral AS. Pasar menilai The Fed masih akan menahan untuk menaikkan suku bunga AS sehingga membuka peluang rupiah untuk bergerak positif.
Saat ini, pasar juga tengah memasuki kondisi pemulihan seiring dengan perkembangan positif dalam perundingan perdagangan AS-China. Sentimen tersebut telah memberikan pengaruh positif dan meningkatkan selera investasi untuk pasar emerging market, termasuk Indonesia.
Senada, Analis Asia Trade Point Futures Deddy Yusuf Siregar menyatakan bahwa respons pasar menjelang Pilpres masih positif. Hal ini tercermin dari masih kuatnya arus modal asing yang masuk, menandakan fundamental Indonesia dinilai cukup kokoh.
"Nantinya, kita belum mengetahui pandangan investor ke Indonesia setelah Pemilu seperti apa, tetapi tampaknya pelaku pasar tetap percaya diri terhadap fundamental dalam negeri dibandingkan dengan kondisi politik," terangnya kepada Bisnis.
Deddy melanjutkan pasar keuangan Indonesia masih cukup solid. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia berhasil mengalami surplus neraca perdagangan selama 2 bulan berturut-turut.
BPS mencatat nilai ekspor Maret 2019 mencapai US$14,03 miliar, lebih besar dibandingkan dengan nilai impor yang mencapai US$13,49 miliar. Dengan demikian, neraca perdagangan Maret 2019 mengalami surplus sebesar US$540 juta.
Selain itu, defisit transaksi berjalan Indonesia sepanjang kuartal I/2019 sebesar US$6,7 miliar, lebih baik dibandingkan dengan kuartal sebelumnya yang minus US$9,15 miliar.
Akibat data fundamental tersebut, rupiah dipandang memiliki potensi untuk menembus level Rp13.900-Rp13.800 per dolar AS sepanjang pekan ini, terlepas dari sentimen Pemilu.
Berdasarkan data Bloomberg, pada penutupan perdagangan Senin (15/4), rupiah ditutup menguat 0,4% ke level Rp14.063 per dolar AS, menjadi nilai tukar dengan kinerja penguatan terbaik kedua di kelompok mata uang Asia.
Di sisi lain, Pemilu negara tetangga yaitu Thailand, yang diselenggarakan pada 24 Maret 2019, sempat membuat mata uang baht terperangkap dalam aksi jual. Sepanjang pekan Pemilu, baht melemah 0,59% melawan dolar AS.
Aksi jual baht oleh investor diakibatkan oleh kisruh usai Pemilu karena lembaga penyelenggara Pemilu Negeri Gajah Putih menunda hasil pemungutan suara.
Kubu oposisi dari Partai Pheu Thai mengklaim berhasil mendapatkan suara mayoritas di parlemen yaitu sebanyak 255 kursi. Tetapi, jumlah kursi tersebut tidak serta merta dapat memberikan koalisi oposisi dapat memilih perdana menteri.
Alasannya, terdapat aturan yang dirancang kelompok junta tiga tahun lalu, yang menyatakan Perdana Menteri terpilih harus didukung oleh 376 suara kombinasi suara parlemen dan senat.
Tetapi, masalahnya, anggota senat sepenuhnya dipilih oleh junta militer sehingga sulit bagi koalisi oposisi untuk mendapatkan suara dari senat.
Melihat kondisi tersebut, diharapkan Pemilu yang akan segera dilaksanakan di Indonesia dapat berjalan dengan lancar sehingga kemungkinan pergerakan rupiah untuk terluka relatif kecil.