Bisnis.com, JAKARTA -- Bank Indonesia optimistis volatilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada tahun ini akan mengalami penurunan dan bahkan bisa lebih rendah 10% dibandingkan tahun sebelumnya, seiring kondisi global yang juga mulai kondusif.
Pasalnya, dari tiga faktor utama pendorong fluktuasi nilai tukar pada 2018, salah satunya mulai kondusif pada tahun ini, yakni yang terkait faktor kebijakan Federal Reserve.
Tahun lalu, ada tiga faktor utama volatilitas, yaitu kenaikan suku bunga The Fed, risk off di pasar keuangan global karena adanya perang dagang China-AS, dan ketidakpastian Brexit.
Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia (BI) Nanang Hendarsah menilai keputusan The Fed yang akan menahan bunga acuan pada tingkat 2,25%-2,5% sepanjang tahun ini, membuat kondisi tekanan global mulai kondusif.
"Hemat saya, karena dari tiga faktor ini, satu di antaranya sudah memberi arah yang jelas, tidak akan terlalu menekan rupiah, seharusnya ini memberikan dukungan terhadap stabilitas rupiah," ujarnya di sela-sela acara pelatihan wartawan ekonomi di Hotel Marriott, Yogyakarta, Sabtu (23/3/2019).
Selain itu, lanjut Nanang, faktor domestik juga memberikan dukungan positif. Inflasi terjaga di 3% dan pertumbuhan ekonomi pun stabil di atas 5%.
Lalu, kondisi Current Account Deficit (CAD) yang sedang dan terus didorong untuk berada di angka 2,5% pada akhir tahun ini, melalui berbagai upaya oleh BI dan pemerintah.
"Jadi, dari sisi stabilitas akan lebih baik dari 2018. Tapi kurs jangan dilihat dari hari ke hari, karena ditentukan supply demand. Jadi, bisa saja 3 hari menguat, 1 hari melemah. Itu sebuah koreksi yang sehat. Tapi, secara fundamental stabilitas di 2019 lebih baik," terangnya.
Oleh karena itu, BI diklaim akan memaksimalkan sejumlah instrumen yang dimiliki untuk memperkuat nilai tukar rupiah agar sesuai dengan fundamentalnya. Misalnya, instrumen Domestic Non Deliverable Forward (DNDF) yang disebut mampu memperkuat rupiah, terutama di pasar spot.
Kehadiran instrumen DNDF pun disebut makin melengkapi instrumen stabilisasi yang dimiliki bank sentral.
"Instrumen DNDF memang masih perlu upaya pendalaman, pengembangan, tapi sangat membantu dalam mendukung kestabilan nilai tukar karena yang selama ini kurs spot dalam negeri banyak dipengaruhi kurs NDF di offshore," ungkap Nanang.
Operasi moneter DNDF dengan kurs yang fixed, di mana lelang dimulai pukul 08.30 WIB hingga penutupan pada pukul 16.00 WIB, disebut membuat kurs DNDF menjadi acuan bagi kurs NDF offshore.
"Sehingga, dampaknya terhadap spot tidak terlalu besar lagi, meskipun memang kalau pasar Indonesia atau domestik kita tutup, NDF-nya akan kembali lagi tertekan. Tetapi, biasanya begitu dibuka, pasar domestik kita bisa stabilisasi. Oleh karena itu, volatilitas di 2019 ini turun drastis ke 10% dibanding 2018," sebutnya.
Pihaknya pun optimistis volatilitas pada 2019 akan semakin menurun dan bahkan bisa lebih rendah dari level 10% tersebut.
BI menyampaikan yang paling penting adalah stabilitas rupiah terjaga. Nanang menambahkan jika rupiah mengalami penguatan, maka BI tentu akan membiarkannya sesuai mekanisme pasar karena rupiah memang dipandang masih undervalue.
Kondisi pasar pun makin likuid, saat ini. Dia menerangkan begitu kurs melemah, maka--tanpa diintervensi BI--pasar mengoreksi sendiri dan banyak pihak yang menyuplai rupiah ke pasar.
Kondisi pasar yang disebut makin berimbang ini dinilai berbeda dari tahun lalu.