Bisnis.com, JAKARTA – Sentimen perpanjangan batas waktu kenaikan tarif impor China dari Amerika Serikat belum mampu menjadi katalis positif bagi mayoritas logam dasar, termasuk nikel.
Berdasarkan data Bloomberg, pada penutupan perdagangan Senin (25/2/2019), harga nikel ditutup melemah 0,12% atau turun 15 poin menjadi US$12.975 per ton.
Analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia Andy Wibowo Gunawan mengatakan bahwa meski Presiden AS Donald Trump yang telah mengatakan akan memperpanjang batas waktu kenaikan tarif impor China, sentimen tersebut belum bisa menjadi katalis positif nikel, justru membawanya kembali di zona merah.
“Kami melihat pasar nikel global akan berada di persimpangan jalan pada pekan ini karena belum adanya kesepakatan nyata yang telah dicapai dari perundingan AS dan China tersebut,” ujar Andy seperti dikutip dari riset harian Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Selasa (26/2/2019).
Pasar nikel global sangat menanti kepastian kesepakatan perdagangan tersebut mengingat harga nikel sepanjang 2018 telah anjlok atau merosot 15,29% akibat banyaknya perusahaan China, negara importir nikel terbesar, terpaksa tutup sebagai efek panasnya perang dagang.
Oleh karena itu, kepastian tersebut diharapkan dapat mendorong permintaan nikel secara nyata.
Baca Juga
Adapun, Presiden Trump mengatakan melalui akun resmi twitternya bahwa perundingan perdagangan antara dua negara ekonomi terbesar di dunia tersebut akhirnya mendapatkan perkembangan yang substansial. Pihaknya setuju untuk memperpanjang tenggat 1 Maret untuk kenaikan tarif impor Tiongkok senilai US$200 miliar.
Selain itu, menguatnya mata uang pound sterling melawan dolar juga menjadi katalis negatif bagi harga nikel, mengingat nikel di bursa LME diperdagangkan menggunakan pound sterling.
Berdasarkan data Bloomberg, pada perdagangan Senin (26/2/2019) pukul 14.14 WIB, pound sterling bergerak menguat 0,35% atau naik 0,0046 menjadi US$1,3143 per pound sterling.