Bisnis.com, JAKARTA – Komoditas timah diprediksi mengalami lonjakan permintaan baru sampai dengan 60.000 ton hingga 2030 dari penggunaannya sebagai materi baterai lithium-ion untuk digunakan oleh kendaraan listrik dan penyimpanan energi.
Asosiasi Timah Internasional atau International Timah Association (ITA) dalam risetnya mengatakan, pasar telah memperlihatkan peningkatan minat terhadap timah sebagai bahan baku energi dan teknologi.
Pemakaian baru untuk timah tersebut terutama adalah untuk bahan elektroda anoda berkapasitas tinggi yang juga dalam kondisi padat dan bersifat katoda.
“Tiga teknologi bahan anoda tersebut telah disorot yang masing-masing dapat mencapai jumlah permintaan 10 hingga 20.000 ton per tahun pada tahun 2030 , jika mereka mendapatkan pangsa pasar di pasar yang sangat kompetitif,” kataITA dalam risetnya seperti dikutip dari Bloomberg, Selasa (19/2/2019).
ITA juga mengatakan bahwa peningkatan jumlah permintaan tersebut setidaknya bisa berlipat ganda pada 2050. Walaupun demikian, ITA tidak memberikan perkiraan konsumsi timah secara keseluruhan pada 2030, tetapi telah memperkirakan permintaan sebanyak 357.000 ton untuk tahun ini.
Adapun, pada November 2018, ITA memperkirakan pasar timah global akan bergerak ke surplus pasokan mencapai 500 ton pada 2019 dibandingkan dengan tahun lalu yang defisit sebanyak 7.500 ton. Defisit pasokan tersebut terutama disebabkan oleh melemahnya permintaan di pasar top China.
Hingga saat ini, investor dinilai masih menyambut gembira dengan prospek peningkatan konsumsi logam lain, seperti nikel, karena peningkatan yang diharapkan dari kendaraan listrik.
Investor dinilai belum banyak yang mengetahui prospek timah di kendaraan listrik yang saat ini masih umum digunakan sebagai solder untuk industri elektronik.
Walaupun demikian, berdasarkan data Bloomberg, harga timah pada penutupan perdagangan Senin (18/2) ditutup melemah 0,31% atau turun 65 poin menjadi US$21.135 per ton.