Bisnis.com, JAKARTA— Emiten pertambangan logam PT Vale Indonesia Tbk. mematok target produksi nikel matte pada rentang 74.000—76.000 ton pada tahun ini. Volume ini tidak berbeda jauh dari target produksi nikel matte perseroan sepanjang tahun lalu yang ditaksir 75.000 ton.
Direktur Vale Indonesia Febriany Eddy menyampaikan volume produksi sebesar 76.000 ton tersebut merupakan capaian maksimal yang dapat dihasilkan perseroan pada tahun ini mengimgat salah satu fasilitas produksi perseroan yang tengah diperbarui.
“Ada shutdown 10 minggu untuk Larona Canal Lining. Larona Canal sudah 40 tahun beroperasi jadi memang sudah saatnya diperbarui dan diperkuat. Apalagi, exposure gempa juga meningkat di Sulawesi Selatan,” ungkap Febriany di Jakarta, Kamis (7/2).
Febriany mengungkapkan perseroan harus memberhentikan sementara operasional fasilitas produksi tersebut guna menjaga standar keselamatan dan optimalisasi aset perseroan. Dengan harga nikel dunia yang memulih, pemberhentian sementara pabrik tersebut pun diyakini tidak akan menekan kinerja finansial perseroan.
Pada tahun ini, emiten dengan sandi INCO tersebut menyatakan fundamental pasar sangat sehat jika dibandingkan kondisi tiga tahun terakhi yaitu 2016—2018. Namun, tren permintaan nikel pada 2019 akan melanjutkan tahun-tahun sebelumnya di mana volumenya lebih besar dari suplai, sehingga cadangannya berpotensi defisit.
Berdasakan data dari London Metal Exchane (LME), stok nikel dunia saat ini menyentuh sekitar 200.000 ton, turun drastic dari beberapa tahun lalu saat inventaris bisa mencapai lebih dari 400.000 ton. Dengan neraca persediaan yang defisit, stok tersebut berpeluang terus turun.
“Tingkat demand stainless steel yang merupakan industri pengguna terbesar nikel juga sedang berkembang. Permintaan kendaraan listrik tumbuh sangat agresif. Meski masih kecil, growth rate-nya luar biasa,” ungkap Febriany.
Sentimen lain yang juga mendorong pemulihan harga nikel dunia yaitu ketegangan China dan Amerika Serikat yang mulai mereda. Namun, ada kekhawatiran dari kondisi makroekonomi China yang terdampak negatif dari perang dagang.
Kekhawatiran lain yaitu bertambahnya suplai nikel dari ekspor bijih mentah dari Indonesia ke pasar global.
“Dulu pernah [obligasi konversi], sekarang tidak ada. Tidak ada alasan khusus. Kalau kami nyaman, langsung saja penyertaan ekuitas,” ungkapnya.