Bisnis.com, JAKARTA – Harga minyak mentah Amerika Serikat (AS) naik menembus level US$54 per barel pada akhir perdagangan Rabu (30/1/2019), didorong penurunan tajam dalam impor minyak Arab Saudi ke Amerika Serikat (AS).
Berdasarkan data Bloomberg, harga minyak West Texas Intermediate (WTI) untuk kontrak Maret 2019 ditutup menguat 92 sen di level US$54,23 per barel di New York Mercantile Exchange, level tertingginya sejak 21 November.
Adapun harga minyak Brent untuk pengiriman Maret 2019 berakhir menguat 33 sen di level US$61,65 per barel di ICE Futures Europe exchange London. Minyak acuan global ini diperdagangkan premium sebesar US$7,42 terhadap WTI.
Impor minyak mentah dari Arab Saudi dilaporkan turun lebih dari separuh jumlah impor pekan sebelumnya menjadi 442.000 barel per hari.
Penurunan pengiriman dari Arab Saudi memberi beberapa bukti nyata bahwa Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC), Rusia, dan produsen besar lainnya membawa dampak dengan kesepakatan yang mereka buat tahun lalu untuk mengurangi kelebihan suplai minyak dari pasar global.
Harga minyak sudah menguat pada Rabu didorong pergolakan politik yang berdampak pada ekspor minyak mentah dari Venezuela serta laporan kinerja dari Apple Inc. dan Boeing Co. yang mengikis kekhawatiran investor tentang ekonomi global.
Pada saat yang sama, badan energi AS Energy Information Administration (EIA) menyatakan stok minyak mentah domestik meningkat sekitar 920.000 barel pekan lalu, lebih rendah dari perkiraan banyak analis.
“Ada banyak kabar baik di sini. OPEC menegaskan sikapnya dengan ekspor minyak yang lebih rendah ke AS,” kata Rob Thummel, managing director di Tortoise, seperti dilansir Bloomberg.
Sentimen positif bertambah dengan laporan EIA bahwa pasokan bensin menurun untuk pertama kalinya dalam sembilan pekan, bertentangan dengan proyeksi kenaikan selama periode ketika cuaca dan proses pemeliharaan kilang biasanya memperlambat konsumsi.
Spread antara bensin dan kontrak berjangka minyak, ukuran kasar dari margin laba perusahaan penyulingan, melonjak 15%, meskipun hanya di bawah US$5, masih di kisaran level terendahnya dalam satu dekade.
"Konsumen merespons harga bensin yang rendah dan harga minyak yang rendah dengan lebih banyak berkendara. Kita berada dalam ekonomi yang sedang tumbuh dan itu menjadi pertanda baik untuk permintaan,” lanjut Thummel.
Di Venezuela, pemilik cadangan minyak terbesar di dunia, Presiden Nicolas Maduro mengusulkan untuk mengadakan pembicaraan dengan oposisi politiknya, ketika AS dan negara-negara lain terus mendesaknya untuk mundur.
Investor menantikan untuk melihat apakah pemerintah Venezuela memutuskan untuk mengumumkan force majeure sebagai tanggapan atas sanksi baru Amerika.
Sanksi AS terhadap Venezuela dapat berdampak pada ekspor sebesar hampir 12 juta barel bulan depan, menurut sebuah program pemuatan yang dipantau oleh Bloomberg. Force majeure melindungi salah satu pihak dari pertanggungjawaban jika tidak dapat memenuhi kontrak karena alasan di luar kendali.
Para pedagangan juga menantikan tanda-tanda progres dalam negosiasi antara AS dan China guna menyelesaikan konflik perdagangan mereka. Sejumlah pejabat tinggi pemerintahan kedua negara bertemu di Washington pada Rabu waktu setempat.
Perundingan dua negara berkekuatan ekonomi terbesar di dunia ini akan berlangsung selama dua hari. Kepada Fox Business Network, Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin mengatakan mengharapkan "kemajuan yang signifikan" dalam diskusi itu.