Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Menanti Hadirnya Instrumen Investasi Baru Pasar Modal

Momentum peningkatan prestasi di pasar modal Indonesia tahun lalu tidak ingin disiasiakan begitu saja oleh otoritas pasar modal. Setelah meningkatkan infrastruktur kebursaan serta menjaring lebih banyak investor baru, tahun ini pasar modal akan berupaya untuk memperbanyak produk investasi.
Direktur Utama Bursa Efek Indonesia Inarno Djajadi memberikan sambutan saat pembukan perdagangan 2019 di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu (2/1/2019)./Bisnis-Abdullah Azzam
Direktur Utama Bursa Efek Indonesia Inarno Djajadi memberikan sambutan saat pembukan perdagangan 2019 di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu (2/1/2019)./Bisnis-Abdullah Azzam

Bisnis.com, JAKARTA - Momentum peningkatan prestasi di pasar modal Indonesia tahun lalu tidak ingin disiasiakan begitu saja oleh otoritas pasar modal. Setelah meningkatkan infrastruktur kebursaan serta menjaring lebih banyak investor baru, tahun ini pasar modal akan berupaya untuk memperbanyak produk investasi.

Self regulatory organization (SRO) masing-masing telah menuntaskan upgrade infrastruktur, masing-masing yakni peluncuran JATS Next-G oleh Bursa Efek Indonesia, e-CLEARS oleh Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI) dan C-BEST Next –G oleh Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI).

Pertumbuhan jumlah investor baru sepanjang 2018 sangat fantastis, mencapai 44,14% atau dari 1,12 juta single investor identification (SID) pada akhir 2017 menjadi 1,62 juta SID pada akhir 2018. Jumlah ini sudah meningkat hampir 500% bila dibandingkan posisi 2012 lalu yang hanya 281.256 SID.

Tentu saja, peningkatan jumlah investor yang signifikan ini tidak terlepas dari kerja keras seluruh pemangku kepentingan yang dimotori oleh SRO dengan program Yuk Nabung Saham. Namun, infrastruktur yang siap serta investor yang meningkat akan sia-sia bila produk investasi tetap terbatas.

Tahun lalu, pasar modal sudah menyambut hadirnya 57 emiten baru. Ini merupakan rekor sejak swastaisasi BEI 1992 lalu. Tahun ini, BEI menargetkan jumlahnya lebih banyak lagi, tetapi juga ingin menambah instrumen derivative sehingga pasar modal lebih variatif.

Dengan sistem JATS Next-G, jumlah transaksi yang bisa ditangani BEI meningkat dari hanya 2,5 juta transaksi per hari menjadi 7,5 juta. Lalu, dengan e-CLEARS dari KPEI, kapasitas data trade dan settlement meningkat masing-masing 5 kali dan 8 kali lebih besar dibandingkan sebelumnya.

Sementara itu, adanya C-BEST Next-G dari KSEI memungkinkan jumlah instrumen yang dapat disimpan mencapai 10.000 instrumen, sedangkan hingga akhir 2018 baru tersimpan 1.987 instrumen.

Wimboh Santoso, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, mengatakan bahwa OJK akan berupaya mengajak korporasi untuk menjajaki lebih banyak instrumen baru untuk penggalangan dana di pasar modal, tidak saja terpaku pada instrumen yang sudah ada.

Korporasi harus juga mampu bersaing dengan pemerintah yang kini tengah serius memperdalam pasar surat utang untuk investor ritel. Menurutnya, saat ini masih banyak jenis instrumen yang belum dimanfaatkan, sedangkan banyak korporasi yang potensial dan butuh dana ekspansi.

Salah satu produk investasi yang ingin didorong oleh OJK tahun ini adalah produk sekuritisasi atau efek beragun aset. Metode yang dipakai bisa beragam, seperti sekuritisasi atas tagihan, piutang atau pendapatan.

OJK juga sudah membuka peluang bagi adanya dana investasi real estate (DIRE), dana investasi infrastruktur (DINFRA), obligasi daerah, dan obligasi hijau. Insturmen-instrumen ini belum banyak dipakai oleh korporasi.

OJK akan mendorong agar produk investasi ini serta produk-produk lain agar tidak saja dicoba oleh korporasi besar, tetapi juga korporasi skala kecil-menengah.

Menurutnya, OJK sudah menyiapkan peraturan dan persyaratan yang memadai, tinggal selanjutnya diedukasikan kepada korporasi, terutama UMKM, untuk bisa rising fund di pasar modal.

“Investor juga kita harapkan bukan saja yang besar, tetapi juga yang medium scale atau ritel, sehingga nanti banyak investor base dari ritel. Investor bisa transaksi tidak saja dari Jakarta, tetapi juga dari daerah,” katanya.

Inarno Djayadi, Direktur Utama Bursa Efek Indonesia, mengatakan bahwa produk yang akan didorong oleh BEI tahun ini antara lain Indonesia Government Bond Future (IGBF) tahap II, stock future, index future, dan structured warrant.

“Kami konsentrasi pada bagaimana memperbanyak produk dan memperkuat dari sisi demand, investor based-nya. Sehingga kita bisa menjadi tuan rumah di rumah sendiri,” katanya.

Thendra Crisnanda, Kepala Riset Institusi MNC Sekuritas, menyambut positif rencana ini. Namun, tentu upaya tersebut harus diimbangi edukasi atas manfaat instrumen baru itu bagi investor, agar mereka tidak saja paham keuntungannya, tetapi juga risikonya yang lebih tinggi.

Di sisi lain, tantangan bagi instrumen derivatif baru pada tahap awal adalah terbatasnya likuiditas sehingga sulit ditransaksikan di pasar sekunder. Regulator harus memikirkan kesiapan penyedia likuiditas untuk membantu pasar yang belum terbentuk melalui mekanismen pasar yang normal.

“Berkaca dari pertumbuhan jumlah investor di pasar saham Indonesia, dibutuhkan waktu yang panjang dan usaha yang tinggi untuk meyakinkan investor untuk dapat berinvestasi pada instrumen investasi tertentu,” katanya.

Thendra mengatakan, hampir untuk semua instrumen investasi baru, pasar cenderung tidak siap. Namun, seiring peningkatan pemahaman investor serta dukungan insentif/regulasi yang menarik, tentu kesiapan investor makin baik sehingga instrumen itu akan dapat lebih berkembang.

Salyadi Saputra, Direktur Utama Pemeringkat Efek Indonesia atau Pefindo, mengatakan bahwa hadirnya instrumen baru bukannya tanpa tantangan. Buktinya, OJK akhirnya justru memperketat investasi pada instrumen medium term notes (MTN) yang mulai popular.

Pefindo juga mencatat tren emisi instrumen sekuritisasi justru turun tahun lalu, yakni hanya Rp3,6 triliun dari 2 emiten. Padahal, pada 2017 mencapai 3 emiten dengan nilai Rp6,5 triliun. Total outstanding sekuritisasi baru Rp10 triliun.

Bandingkan dengan outstanding obligasi korporasi yang mencapai Rp428,2 triliun atau MTN yang mencapai Rp71,8 triliun per November 2018. Salyadi menilai, pasar untuk obligasi korporasi sudah cukup berkembang, seharusnya tidak sulit untuk memperkenalkan instrumen baru yang serupa.

Saat ini makin banyak proyek infrastruktur yang rampung dan seharusnya bisa dimanfaatkan untuk disekuritisasikan guna pembiayaan proyek berikutnya. Selain itu, korporasi juga masih belum banyak menjajaki produk obligasi proyek, sukuk, serta green bond.

Peluang masih sangat terbuka, tinggal bagaimana seluruh pelaku pasar memanfaatkannya sebaik mungkin untuk mendukung kinerja perekonomian nasional. Pasar sudah disuguhkan janji manis di awal tahun, semoga benar-benar terealisasi hingga akhir tahun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Fajar Sidik
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper